REPUBLIKA.CO.ID, SURAKARTA -- Ekonom Faisal Basri menilai tata kelola minyak dan gas di Republik Indonesia belum tepat dan hasilnya belum debesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. "Saya ingin sumber daya alam ini dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan sekelompok orang atau orang per orang," katanya di Surakarta, Jawa Tengah, Sabtu (4/3).
Hal tersebut disampaikan mantan Ketua Tim Tata Kelola Migas itu di sela seminar "Menegakkan Kedaulatan Energi NKRI" yang dilaksanakan di Gedung Pascasarjana IAIN Surakarta. Ia mengungkapkan kekayaan sumber daya alam menjadi sumber utama konsentrasi kekayaan di Indonesia dan menempatkannya pada urutan ketujuh dalam indeks Kapitalisme Kroni 2016 versi "The Economist" atau naik satu peringkat dibandingkan dengan posisi tahun sebelumnya.
Dengan kata lain, kata dia, untuk dapat mengelola sumber daya alam, pihak yang bersangkutan harus dekat dengan kekuasaan atau penguasa. "Sumber daya alam ini sedemikian rupa sekarang ada di tangan segelintir manusia, akibatnya satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional dan 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 77,4 persen kekayaan nasional," ujarnya.
Oleh karena itu, pria kelahiran 6 November 1959 ini meminta pemerintah segera memperbaiki tata kelola migas dan memanfaatkannya untuk kemakmuran rakyat. "(Kenyataannya) orang per orang itu yang menguasai sumber daya alam untuk melanggengkan kekayaannya, bahkan mendirikan partai politik untuk memperkokoh cengkeraman atas kekayaan alam itu," katanya.
Faisal juga mendesak pemerintah melaksanakan rekomendasi tim tata kelola migas yang ditindaklanjuti dengan hasil audit forensik agar diketahui siapa saja yang terlibat mafia migas, mata rantainya seperti apa, cara kerjanya bagaimana, dan keuntungannya berapa. "Kami dulu di tim tata kelola migas menemukan keganjilan-keganjilan, kemudian merekomendasikan dalam bentuk audit forensik dan telah diserahkan ke pemerintah, tapi tidak ada tindak lanjut," ujarnya.