REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekembali dari menunaikan ibadah haji di Makkah tahun 1184; Ibn Jubair, sang penjelajah Muslim terkemuka, mendapati kapalnya karam dihantam ombak di Selat Messina, dekat pantai Pulau Sisilia. Kontan, kejadian ini menarik perhatian warga setempat.
Tak lama, disiapkanlah perahu untuk membantu para korban. Namun, niat mereka tidak dilandasi keikhlasan, melainkan berharap imbalan uang jasa dari penumpang kapal yang diselamatkan.
Namun, sebagian besar penumpang merupakan orang-orang Islam yang tidak berpunya. Mereka tak tahu harus berbuat apa setelah berada di pantai Sisilia.
Akan tetapi, seperti dilaporkan Ibn Jubair, di saat kritis itu, datanglah seorang pemimpin wilayah setempat. Dia memerintahkan warga untuk membantu para korban sebisanya, tanpa biaya sepeser pun.
Terkesima dengan kejadian itu, Ibn Jubair dan para penumpang kapal lainnya mengucapkan terima kasih kepada orang tersebut. Tak dinyana, dia adalah penguasa tertinggi di Sisilia. Pemimpin yang beragama Nasrani ini bahkan berjanji melindungi para korban selama berada di wilayahnya.
Belum habis rasa kagumnya, Ibn Jubair makin terkejut mendapati apa yang dilihatnya di Sisilia. Banyak orang Nasrani mahir berbahasa Arab, begitu juga sebagian pejabat yang beragama Islam. Tak cuma itu, sejumlah peninggalan kejayaan Islam pada 200 tahun lampau masih terjaga dengan baik.
Saat itu, Sisilia sudah dikuasai oleh orang-orang Norman yang berasal dari Skandinavia. Mereka sudah menetap di wilayah itu sejak 100 tahun setelah redupnya pengaruh Islam di sana.
Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Eropa lainnya, Kerajaan Norman ini bersikap toleran terhadap etnis dan penganut agama lain. Dalam kehidupan sehari-hari dan juga di pemerintahan, terjadi rajutan kerukunan antarmasyarakat yang berlainan latar belakang, termasuk di antaranya komunitas Muslim.