REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menetapkan Makam Mbah Priok sebagai situs cagar budaya, beberapa waktu lalu, dinilai melanggar prosedur. Keputusan tersebut juga dianggap tidak memenuhi kriteria atau persyaratan seperti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Mekanisme penetapan Makam Mbah Priok sebagai cagar budaya telah menyalahi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya," kata Ketua Komisi B DPRD Provinsi DKI Jakarta, Tubagus Arif, kepada Republika.co.id, Ahad (5/3).
Dia menuturkan, pada pasal 5 UU itu dijelaskan bahwa suatu situs yang hendak ditetapkan menjadi cagar budaya harus memenuhi beberapa kriteria. Syarat itu di antaranya adalah strukturnya mesti berusia minimal 50 tahun atau lebih dan mewakili masa gaya paling singkat 50 tahun. Selain itu, situs tersebut juga harus memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan, serta; mempunyai nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
"Sementara, Makam Mbah Priok tidak punya arti khusus apa pun bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, kebudayaan, apalagi nilai budaya penguatan kepribadian bangsa. Meskipun usia strukturnya sudah 50 tahun lebih," ucap Arif.
Selain kriteria-kriteria yang disebutkan di atas, kata Arif, suatu situs yang hendak dijadikan cagar budaya juga harus memiliki kajian dan rekomendasi dari tim ahli. Mekanisme tersebut diatur dalam Pasal 31 UU No 11/2010. "Jadi, menetapkan cagar budaya itu tidak bisa sembarangan. Nah, untuk kasus Makam Mbah Priok, tidak ada sama sekali tim ahli yang dilibatkan oleh gubernur (Ahok)," ujarnya.
Arif mengungkapkan, nama Habib Hasan bin Muhammad al-Hadad alias Mbah Priok sebelumnya tidak pernah dikenal dalam literatur sejarah Indonesia, khususnya sejarah Betawi. Menurut dia, nama itu baru muncul belakangan, terutama sejak tujuh tahun lalu.
"Saya ini orang asli Tanjung Priok, Mas. Dulu saya tinggal di Jalan Dobo. Sejak kecil saya tidak pernah mengenal yang namanya Makam Mbah Priok," kata Arif.
Dia menjelaskan, nama Mbah Priok justru baru mulai mencuat ke publik saat terjadinya Kerusuhan Koja pada April 2010. Peristiwa ketika itu awalnya dipicu oleh rencana eksekusi tanah yang berada di dalam area Terminal Peti Kemas Tanjung Priok oleh Pemprov DKI Jakarta. Rencana tersebut lantas mendapat penolakan dari masyarakat setempat. Mereka berdalih di dalam area tanah yang hendak dieksekusi Pemprov DKI itu terdapat Makam Mbah Priok yang dikeramatkan.
"Jadi, sejak kerusuhan 2010 itulah Makam Mbah Priok mulai santer diberitakan di media-media. Padahal sebelumnya nama makam itu tidak pernah dikenal dalam sejarah Jakarta," tutur Arif.
Setelah Kerusuhan Koja meletus, kata dia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jakarta Utara langsung melakukan penelitian untuk membuktikan klaim warga tentang Makam Mbah Priok. Pada tahun yang sama (Desember 2010), lembaga keagamaan tersebut mengeluarkan fatwa dan mengklarifikasi bahwa situs yang dinamai Makam Mbah Priok itu bukanlah cagar budaya ataupun makam keramat.
"MUI Jakarta Utara sendiri telah menegaskan bahwa situs itu sama sekali tidak memiliki arti apa-apa bagi sejarah Islam di Jakarta. Tapi gubernur (Ahok) malah membuat kebijakan yang sebaliknya. Saya pikir, kebijakan ini (penetapan Makam Makam Mbah Priok sebagai cagar budaya) ada tendensi politik tertentu, apalagi saat ini sedang masa Pilkada DKI," ucap Arif lagi.
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebelumnya menetapkan Makam Mbah Priok yang berada di Jalan Pasar Koja, Jakarta Utara, sebagai cagar budaya. Kebijakan itu diambil berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta No 438 Tahun 2017.