Senin 06 Mar 2017 13:49 WIB

MA: Vonis Perkara Korupsi Tinggi Belum Tentu Berikan Efek Jera

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Bilal Ramadhan
Juru Bicara Mahkamah Agung, Suhadi. (Republika/Rakhmawaty La'lang)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Juru Bicara Mahkamah Agung, Suhadi. (Republika/Rakhmawaty La'lang)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi menuturkan hukuman penjara yang tinggi terhadap terdakwa kasus korupsi belum tentu memberikan efek jera sehingga penyelenggara negara yang lain enggan melakukan perbuatan korupsi.

"Perlu diteliti apa penyebab korupsi itu. Apakah karena hukuman rendah atau ada faktor-faktor lain. Harus diteliti secara seksama, padahal banyak yang dihukum dengan hukuman yang tinggi," kata Suhadi saat dihubungi, Senin (6/3).

Suhadi melanjutkan, perlu ada penelitian lebih lanjut terhadap hubungan antara lemahnya vonis hukuman kasus korupsi dengan efek jera. Sebab, menurut dia, bisa saja, karena ada celah dalam sistem penganggaran kemudian mengakibatkan kasus korupsi tetap marak.

"Di LP Sukamiskin misalnya, di situ banyak bupati gubernur menteri, apakah mereka tidak mengerti atau tidak takut? Coba diteliti lagi, sebetulnya sistem penyelenggara negara ini dalam hal penggunaan uang itu ada kemungkinan terjadi kebocoran atau bagaimana," tutur dia.

Menurut Suhadi, pemberian efek jera terhadap koruptor tidak semata-mata harus ditekankan pada penjatuhan hukuman. Sebab, lanjut dia, pemberian hukuman yang tinggi bukan berarti akan memberikan efek jera terhadap pelaku kasus korupsi ataupun akan berdampak pada pengurangan potensi terjadinya korupsi.

"Bukan hanya semata-mata terhadap hukumannya. Banyak kok (orang yang dapat) hukuman tinggi itu tapi orang tetap juga banyak korupsi," ungkap dia.

Suhadi juga menambahkan, upaya pemberantasan korupsi sebetulnya sudah dilakukan banyak hal. Misalnya, hakim tindak pidana korupsi tidak hanya menggunakan hakim karir tapi juga hakim ad hoc. "Sama saja korupsi tetap marak. Jadi, coba diteliti, apakah efek jera dari hukuman itu yang mengakibatkan korupsi jadi banyak," ujar dia.

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch mencatat bahwa rata-rata vonis hakim dalam kasus korupsi sepanjang 2016 yaitu cuma 26 bulan penjara. ICW merilis ini berdasarkan pantauannya terhadap 573 putusan kasus korupsi di pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding, dan Mahkamah Agung.

Menurut peneliti hukum ICW Aradila Caesar, kecenderungan vonis ringan terhadap terdakwa kasus korupsi ini tidak memberikan efek jera karena pengadilan masih memberikan hukuman yang ringan. Bahkan, kondisi ini sudah terjadi sejak 2013.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement