REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Dinas Kebudayaan Provinsi Bali merancang buku pedoman untuk sanggar-sanggar tari di daerah itu agar terdapat standar yang sama dan dapat memberikan perhatian khusus pada tarian yang bersifat sakral.
"Dengan buku pedoman itu, nantinya bagi pengelola sanggar ada semacam kurikulum yang menjadi pedoman ketika memberikan pelatihan ataupun keterampilan di sanggar tari masing-masing," kata Kepala Dinas Kebudayaaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha, di Denpasar, Senin.
Menurut dia, berbagai sanggar tari yang ada saat ini cenderung mengajarkan tarian sesuai dengan kemampuan masing-masing pembina atau pelatihnya.
"Jadi, tidak ada standar yang sama di seluruh Bali. Ada yang mulai dengan Tari Pendet, ada yang mulai Tari Legong Keraton, dan sebagainya. Ada juga yang mulai dengan tarian yang disesuaikan dengan anak-anak," ujarnya.
Di samping itu, tidak jarang sanggar tari justru lebih tertarik hanya memberikan tari yang bersifat pengembangan.
"Oleh karena itu, agar tari-tari sakral tidak punah, kami di Dinas Kebudayaan yang bertugas memberikan pembinaan, salah satunya merancang buku pedoman ini untuk perlindungan seni-seni sakral," ucap Dewa Beratha.
Apalagi, ucap dia, jika dikaitkan dengan sembilan tarian Bali yang sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda UNESCO sehingga sudah menjadi kewajiban untuk menjaganya supaya tetap lestari.
"Tari sakral tidak bisa dipentaskan di ajang Pesta Kesenian Bali maupun Bali Mandara Mahalango. Oleh karena itu, kami terus lakukan pembinaan," katanya.
Tim yang dilibatkan untuk penyusunan buku pedoman tersebut, kata dia, antara lain, budayawan Prof. I Made Bandem, Ketua Listibya Komang Astita, dan Ni Luh Swasthi Bandem.