Selasa 07 Mar 2017 19:30 WIB

Ada Misi Meruntuhkan Syariat Islam di Sudan

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Puasa Muslim Sudan
Foto: alarab
Puasa Muslim Sudan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengaruh asing tampaknya tidak bisa dikesampingkan dari akar konflik . Ada dua motif utama. Pertama, mereka ingin menikmati sumber daya alam Sudan, dan kedua, melemahkan posisi Sudan sebagai salah satu negara di Afrika yang menerapkan syariat Islam.

Negara-negara asing, termasuk Israel, was-was melihat semakin kokohnya syariat Islam di negara berpenduduk 42 juta jiwa ini. Mereka khawatir, jika Sudan bangkit, bakal bertambah negara Islam yang tak gentar terhadap dominasi asing.

Maka itulah, Sudan terus berupaya dilemahkan. Penggunaan kekuatan militer, masuk dalam pertimbangan, akan tetapi urung dilaksanakan karena dapat membawa konsekuensi yang besar.

Satu-satunya cara bisa ditempuh, dan dinilai paling efektif, adalah memercikkan api konflik internal. Momentum itu salah satunya dengan memanfaatkan kekecewaan warga selatan tadi.

Adanya skenario ini pernah dikonfirmasi Mendagri Israel Avraham 'Avi' Dichter. Kepada salah satu media Israel, pada Oktober 2008 silam, dia membeberkan motif di balik krisis Sudan, yakni dengan mengobarkan perang sipil.

Menurutnya, Sudan memiliki sumber daya alam melimpah, wilayah yang luas, dan jumlah penduduk yang banyak. Dia khawatir, Sudan bisa menjelma menjadi negara kuat, dan bisa melindungi negara-negara Arab lainnya.

''Sudan harus dipecah menjadi negara-negara kecil. Hal ini untuk menjamin dominasi kita terhadap kekayaan alam, sekaligus mengikis pengaruh Islam di sana,'' sambung Avi Dichter.

Apabila kekayaan alam mampu dikelola dengan baik dan dikuasai penuh oleh umat Islam, tentu akan menjadi modal penting bagi tumbuhnya kekuatan Sudan sehingga berpotensi mengancam kepentingan mereka di kawasan.

Sebagian kalangan menilai Sudan adalah negara kunci Islam di benua Afrika. Sudan juga berdaulat di sebagian laut Merah. Bila syariat Islam kian kuat, Sudan bisa menebarkan pengaruh Islam di negara-negara sekitar, semisal Kenya, Uganda, dan Kongo.

Negara-negara asing dan Zionis tidak ingin skenario ini terjadi, dan untuk itu Sudan perlu dilemahkan. Melalui kepanjangan tangan mereka di berbagai lapisan, gerakan melemahkan Islam terus digalang.

Di sisi lain, pemerintah tidak gentar terhadap tekanan-tekanan itu. Penasehat kepresidenan, Shalah Ghas, menyerang partai-partai oposisi yang ingin menghapus hukum Islam di Sudan. Dia mengatakan, kelompok oposisi ingin memanfaatkan momentum pemilu untuk mengampanyekan pembentukan negara sekuler.

Senada dengan pernyataan itu, Partai NCP yang berkoalisi dengan pemerintah, mengajak semua pihak waspada terhadap seruan dari kelompok tertentu yang ingin menghapuskan undang-undang Islam. Parta ini menegaskan dukungannya terhadap penerapan hukum Islam dan pengembangan Islam di sana.

Kalangan ulama meminta masyarakat Muslim Sudan untuk tidak ragu menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dia pun mengharapkan agar setiap pemimpin yang terpilih senantiasa berkomitmen melestarikan dan menjaga pemberlakuan syariat.

Diungkapkan ulama kharismatik Syaikh Abdullah Yusuf, saat ini Sudan menghadapi tekanan berkaitan dengan penerapan syariat Islam, akan tetapi dia meyakini masalah itu bisa diatasi bila segenap umat bersatu. Keyakinan itu kian kuat dengan dukungan dari sejumlah negara Islam yang menyerukan pemerintah Sudan agar melestarikan identitas Arab dan Islam.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement