REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah perwakilan dari Suku Amungme dan Suku Kamoro, dua suku yang wilayahnya terdampak operasional PT Freeport Indonesia (PTFI), mendatangi kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Rabu (8/3).
Sebanyak, 21 perwakilan dari kedua suku dan beberapa perwakilan mahasiswa Papua menyampaikan aspirasi mereka terkait keberadaan PTFI yang sudah setengah abad menjalankan bisnis tambang emas dan tembaganya di Kabupaten Mimika, Papua.
Salah satu perwakilan Suku Kamoro, Arianus Maknaipeku mengungkapkan, keberadaan Freeport di tanah Papua memang bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, Freeport memang memberikan sejumlah manfaat yang dirasakan segelintir masyarakat papua.
Namun di sisi lain, lanjutnya, aktivitas pertambangan Freeport telah merusak lingkungan dan ekosistem yang selama ini menjadi tempat tinggal mereka dan tujuh suku lainnya yang mendiami wilayah-wilayah di sekitar wilayah kerja PTFI di Tembagapura.
"Kami butuh pemerintah. Kalau Pemda minta saham, kami tidak minta saham. Kami tak mau gegabah. Permintaan kami, libatkan kedua suku ini dalam perundingan ke depan. Karena suku-suku ini lah yang jadi korban," ujar Arianus saat dialog dengan pejabat Kementerian ESDM.
Ia menyebutkan, Suku Kamoro yang berada lebih ke selatan dari wilayah kerja PTFI sangat merasakan dampak langsung dari aktivitas pembuangan limbah tambang atau tailing di sepanjang aliran Sungai Ajkwa. Bila dulu masyarakat Suku Kamoro terbiasa mengkonsumsi ikan yang hidup liar di sungai, maka hal itu tak bisa dilakukan lagi saat ini.
"Padahal kami Suku Kamoro sangat bergantung dengan sungai. Tolong pikirkan kami, Amungme dan Kamoro harus dijadikan tuan, jangan dijadikan penonton," ujar Arianus.
Sementara itu, perwakilan Suku Kamoro lainnya yakni Yohanis juga mengungkapkan pemikirannya soal operasi PTFI di tanah mereka. Dengan Bahasa Indonesia seadanya, terdengar ia mencoba menahan emosi. Yohanis bahkan sampai memohon kepada pemerintah agar kegiatan penambangan oleh PT Freeport Indonesia ditutup.
Ia meminta kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan dan pejabat terkait lainnya untuk turun langsung ke Mimika, khususnya suku-suku yang terdampak kegiatan PTFI agar bisa melihat sejauh apa efek yang mereka rasakan dari kegiatan PTFI selama ini.
"Selama 50 tahun, Tuhan munculkan barang itu (Freeport) untuk musnahkan dua suku (Amungme dan Kamoro) ini kah? Lebih baik Bapak amati sendiri, kehidupan masyarakat seperti apa, lingkungan seperti apa. Kami datang ini dengan harapan besar Freeport tutup," katanya.
Selain itu, senada dengan perwakilan Suku Kamoro, perwakilan Suku Amungme juga mengungkapkan hal yang sama. Damaris, salah satu perwakilan Suku Amungme, menyebutkan bahwa dibanding manfaat, lebih banyak kerugian yang dirasakan oleh masyarakat Suku Amungme akibat kegiatan pertambangan PTFI.
"Setiap pergantian tahun ada gejolak-gejolak. Tapi kalau tahun ini serius pak, bukan main-main. Ini tahun yang sangat serius, ada PHK besar-besaran. Bahkan ada yang sampai pingsan, mati dibawa pulang," ujar dia.
Menanggapi masukan-masukan dari perwakilan masyarakat adat papua, Kementerian ESDM berjanji untuk mengendepankan kepentingan masyarakat adat dalam perundingan dengan PTFI. Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Teguh Pamudji menyebutkan bahwa pihaknya akan segera terbang ke Papua untuk berdialog terlebih dahulu dengan Pemerintah Provinsi Papua.
"Topiknya, kita tentu ingin melihat perkembangan di sana, dan kami ingin menyampaikan perkembangan yang sudah kita lakukan, untuk mensinkronisasi antara pemikiran ataupun upaya-upaya yang ini kan untuk kepentingan Papua, nasional," jelasnya.