Kamis 09 Mar 2017 04:00 WIB

Ini Kisah Wanita Gaza Cari Nafkah Jadi Pandai Besi

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Agus Yulianto
    Wanita Palestina tengah berjalan di depan tembok beton yang memblokade kota Hebron, Tepi Barat.
Foto: AP
Wanita Palestina tengah berjalan di depan tembok beton yang memblokade kota Hebron, Tepi Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JALUR GAZA -- Kehidupan ekonomi makin keras. Makin banyak wanita Gaza yang bekerja apa saja demi mencari nafkah.

Sebuah tenda berdiri 3 km dari Pelabuhan Gaza.  Ayesha Ibrahim (37 tahun) dan anak perempuannya  (15 tahun) bekerja bergantian memukul-mukul besi dengan palu yang berat. Ini merupakan cara Ayesha Ibrahim memberi nafkah bagi tujuh anaknya yakni dengan menjadi pandai besi.

Sejak 20 tahun lalu ia dan suaminya sering mencari logam di jalan-jalan, rumah yang hancur. Dari logam yang terkumpul itu ia membuat  kapak, pisau, parut, jangkar dan barang-barang lain yang mereka jual di pasar.

Membutuhkan waktu selama tiga hari untuk membuat satu barang. Membentuk besi menjadi barang butuh kesabaran dan waktu.  Satu barang biasanya dijual enam shekel  (1,60 dolar AS) di pasar. Mereka mendapatkan uang antara  10 sampain 20 shekel per hari.

Api memercik ke udara saat Ibrahim membakar besinya. Tangannya melepuh dan punggungnya sakit apalagia ia sedang hamil delapan bulan. Ini pekerjaan yang sangat berat.

Suatu ketika suaminya terluka akibat  kejatuhan150 kg besi di tangannya. "Saat itu malam yang mengerikan, kami tak bisa memanggil ambulans untung ada seorang laki-laki yang baik yang mau mengantarkan suami saya ke rumah sakit. Rumah sakit takut lukanya bisa infeksi dan meminta menginap namun karena tak ada uang, suami saya memilih pulang," katanya seperti dilansir Aljazirah, Selasa, (8/3).

Ini adalah perjuangan berat untuk bisa menyediakan makanan di meja makan. Meski separuh populasi di Gaza bergantung pasa bantuan makanan dari PBB namun keluarga Ibrahim tak bisa menunjukkan kalau mereka pengungsi sehingga tak bisa mendapat bantuan.

Keluarga Ibrahim hidup dari pinjaman. Namun pemilik apartemen mereka membiarkan mereka tinggal dengan gratis. Memiliki rumah mereka sendiri tetap merupakan impian yang jauh.

"Kondisi kami sangat keras. Tapi saya tak punya pilihan kecuali bekerja untuk anak-anak saya dan saya tak ingin mereka seperti saya. Saya ingin mereka punya masa depan yang lebih baik," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement