REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyebutkan amanah yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah dengan seadil-adilnya.
"MK adalah penjaga nilai-nilai konstitusi terutama kewajiban untuk mewujudkan keadilan pemilu, dan memastikan pilkada yang terlaksana adalah luber, jurdil, dan demokratis," ujar Titi, ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (10/3).
Terkait dengan hal itu, Titi mengatakan supaya MK tidak menerapkan ketentuan pasal 158 Undang Undang Pilkada tanpa memperhitungkan konteks penyelenggaraan pilkada. "Maksudnya, syarat batas selisih maksimal pasal 158 tersebut hanya bisa dilakukan dalam hal hasil pilkada yang ditetapkan KPU di daerah dihasilkan dalam suatu proses yang luber, jujur, adil, dan demokratis," kata Titi.
Menurut Titi syarat formil dari pasal 158 tersebut bisa dikesampingkan apabila pemohon bisa mendalilkan dan membawa bukti-bukti yang cukup bahwa hasil pilkada tersebut tercipta akibat adanya proses curang yang terstruktur, sistematis, dan masif.
"Jadi pasal 158 bisa dikesampingkan jika selisih suara tercipta sebagai hasil perbuatan curang yang berdampak pada hasil yang tak sesuai dengan kehendak bebas rakyat sesuai dengan prinsip pilkada yang luber, jujur, adil, dan demokratis," kata Titi lagi.
Lebih lanjut Titi mengatakan para pembuat undang-undang sudah seharusnya melakukan evaluasi terhadap ketentuan ini, karena pasal 158 dinilai Titi telah membuat paradigma konstruktif di daerah.
"Jadi ini bisa memicu pemikiran bahwa lebih baik curang sejak awal asal selisih suaranya melampaui batas yang diatur dalam pasal 158 UU Pilakada," ujar Titi.
Titi menyebutkan ketentuan dalam pasal 158 ini menjadi sangat berbahaya diterapkan bila tidak melihat konteks pilkada yang masih memiliki masalah terkait dengan pengawasan dan penegakan hukum, sehingga belum mampu mewujudkan dan memenuhi rasa keadilan.