REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di antara catatan yang bisa digunakan untuk menggambarkan kiprah bangsa Turki dalam membangun peradaban Islam ialah memoar yang pernah ditulis oleh petualang Muslim, Ibnu Bathutah, dalam bukunya yang berjudul ar-Rihlah.
Saat berkunjung ke Anatolia, ia pernah bertemu langsung dengan penguasa negara tersebut, Orhan, yang juga salah satu peletak Kesultanan Ottoman, Turki. Selama 30 tahun Ottoman berada di bawah kepemimpinan Orhan, dinasti ini memiliki karakteristik yang berbeda dari imperium yang ada pada abad 20. Kekuasaannya berdiri di atas daratan Eropa dan Asia. Pedesaan dan perkotaan dibangun sedemikian rupa dan mendirikan masjid.
Ibnu Bathuthah menulis dalam memoarnya, “Orhan adalah penguasa Turki paling agung dengan jumlah harta, kekuatan militer, dan daerah kekuasaan yang besar dan luas. Ia mendirikan kurang lebih 100 benteng. Ia menyempatkan diri untuk mengawasi benteng-benteng tersebut, tak jarang ia tinggal di benteng beberapa hari. Budi pekertinya luhur dan ulet menciptakan stabilitas Kesultanan Ottoman begitu pula melebarkan peradaban Islam melalui penaklukkan-penaklukkan di berbagai wilayah.”
Deretan penaklukkan yang dilakukan oleh bangsa Turki di bawah Ottoman terhadap wilayah Eropa yang menuai puncak kesuksesan pada masa Sultan Muhammad al-Fatih, Sultan ke-7 Dinasti Ottoman, menyempurnakan misi serupa yang pernah dilakukan pada abad pertama dan kedua Hijriyah.
Setidaknya tercatat tujuh kali misi penguasaan Eropa, yaitu penaklukkan Muawiyah dan anaknya Yazid pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib 34 dan 47 H, Sufyah bin Aus pada masa Muawiyah (52 H), Musalamah saat Umar bin Abd al-Aziz berkuasa (97 H), Hisyam bin Abd al-Malik (121 H), dan Harun al-Rasyid pada 182 H. Penaklukkan oleh al-Fatih, oleh sebagian kalangan, dijadikan pembuktian dari hadis yang disandarkan kepada Rasulullah SAW bahwa kelak Konstantinopel akan ditaklukkan oleh penguasa dan militer yang tangguh.
Rekam jejak bangsa Turki dalam peradaban Islam cukup besar. Rasulullah SAW pernah berperang bersama mereka di beberapa peperangan, seperti Perang Khaibar, meski jumlah mereka tak banyak. Perlahan masyarakat keturunan Turki memeluk Islam, terutama pascapenaklukkan Persia oleh Umar bin al-Khatab dan jumlahnya kian membeludak saat Ubaidillah bin Ziyad, khalifah Dinasti Umayyah, berkuasa.
Beberapa abad kemudian, Muslim Turki mendirikan rezim yang sangat kuat melalui otoritas kerajaan. Dua dinasti besar berdiri pada masa yang berbeda, yaitu Dinasti Saljuk dan Kesultanan Ottoman. Terdapat tiga kerajaan yang didirikan Muslim Turki, tetapi skalanya kecil dan nyaris terlupakan oleh sejarah. Kekuatan militer kerajaaan-kerajaan tersebut sangat diperhitungkan pada masa itu. Kelebihan itu menjadi faktor pendukung suksesnya penaklukkan Eropa.
Sebagian sejarawan lantas mengomentari tipikal dan karakter penyebaran Islam oleh bangsa Turki identik dan dominan melalui peperangan dan peperangan. Hal ini kemudian diduga dijadikan premis mengapa peradaban Islam di wilayah Eropa dan sekitarnya tak bertahan hingga sekarang. Berbeda dengan pola penyebaran Islam di Asia Tenggara, misalnya.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa peperangan merupakan bagian tak terlepaskan pada masa itu, tidak hanya dari sisi kerajaan Turki Islam, tetapi juga imperium non-Muslim. Perang adalah konsekuensi logis dari upaya penaklukkan secara politis yang gagal dengan cara damai. Begitulah sunah peradaban.
Sejarah ternyata mencatat juga kontribusi Muslim Turki membangun fondasi intelektualitas peradaban Islam. Gerakan penerjemahan pemikiran dalam sejarah Islam memang telah diawali sejak Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, tetapi mencapai puncaknya saat Muslim Turki berkuasa. Kita mengenal al-Farabi dan al-Biruni, dua tokoh pakar filsafat dan matematika keturunan Turki. Keduanya menyumbangkan gagasan-gagasan yang belum pernah diungkap oleh para intelektual pada era sebelumnya.
Al-Farabi dianggap sukses mengawinkan rasionalitas filsafat dalam tradisi Yunani agar selaras dengan konsep teologi Islam. Pemikiran briliannya itu menghasilkan harmoni antara dua kutub pemikiran besar selama bertahun-tahun.
Madrasah Nidhamiyah yang didirikan oleh salah satu menteri Dinasti Seljuk Nidham al-Mulk di Baghdad sangat tersohor. Lembaga ini menjadi contoh perdana bagi konsep ideal sebuah perguruan tinggi Islam. Lembaga ini tidak mendikotomikan antara ilmu agama dan ilmu umum.