REPUBLIKA.CO.ID, METZ -- Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan, Belanda sedang menjalankan sikap fasisme terhadap negaranya. Hal ini terkait dengan penolakan atas kunjungan ia ke Rotterdam untuk meminta dukungan reformasi konstitusi Turki di kota tersebut.
Cavusoglu tidak diperbolehkan berkunjung ke salah satu kota di Belanda itu saat ia telah berencana untuk bertemu meminta dukungan dari warga Turki yang berada di sana.
"Belanda yang disebut sebagai Ibu Kota Demokrasi saya kira tidak demikian, namun sebaliknya adalah Ibu Kota Fasisme," ujar Cavusoglu saat berkunjung ke Metz, Prancis seperti dikutip Aljazirah Ahad (12/3).
Sementara itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, tuduhan atas Belanda sangatlah tepat. Ia menilai langkah dari sebuah pemerintahan yang melarang pejabat negara berkunjung ke wilayah mereka untuk sebuah kepentingan demokrasi adalah salah.
"Hanya rezim yang bersikap nazisme dan fasisme yang melarang seorang menteri melakukan perjalanan ke negara mereka dan Belanda akan membayar hal ini," jelas Erdogan.
Ketegangan antara Turki dan Belanda menjadi permasalahan serius yang terjadi. Sejak Turki berencana membuat referendum untuk konstitusi baru, tak sedikit negara Uni Eropa menentang.
Konstitusi baru itu sebelumnya dinilai kontroversial oleh sejumlah kritikus. Secara otomatis aturan-aturan yang ada di dalamnya dapat memberi kekuasaan lebih besar terhadap Erdogan, bahkan secara signifikan.
Dalam konstitusi baru itu, terdapat aturan yang memungkinan presiden untuk mengangkat dan memberhentikan para menteri secara langsung. Selain itu, jabatan Perdana Menteri akan dihapus untuk pertama kalinya dalam sejarahTurki. Sebaliknya, akan ada satu atau beberapa wakil presiden di negara itu.
Baca juga, Turki Segel Kedutaan Besar Belanda.
Konstitusi yang saat ini diadopsi Turki sudah berlaku sejak 1982 lalu. Adapun Erdogan telah berkuasa di Turki mulai 2002 lalu, setahun setelah pembentukan AKP. Selama 11 tahun pria berusia 62 itu menjabat sebagai perdana menteri, hingga pada 2014 terpilih menjadi presiden.
Ketegangan dengan Belanda juga meningkat setelah Menteri Keluarga Turki Fatma Betul Sayan diminta untuk meninggalkan negara itu. Hal ini dilakukan setelah ia berencana bertemu dengan sejumlah warga negaranya di Pelabuhan Rotterdam.
Belanda menjadi rumah bagi 400 ribu warga Turki. Karena itu, Pemerintah Turki diperkirakan ingin memanfaatkan dukungan dalam pemungutan suara referendum yang sangat berarti.