REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Anggota Komisi VII DPR RI Mukhtar Tompo menyebut PT Freeport Indonesia (PTFI) hingga saat ini tidak punya itikad baik dalam berbisnis di Indonesia. Pasalnya, perintah untuk membangun smelter diabaikan.
"Saya secara tegas menyatakan bahwa arogansi yang ditunjukkan PT Freeport Indonesia (PTFI) dalam berbisnis di Indonesia, tak berbeda dengan gaya VOC, organisasi pengusaha Belanda di zaman penjajahan dahulu," tegas Mukhtar Tompo yang dikonfirmasi, Senin (13/3).
Ia menyebut PT Freeport tidak beritikad baik karena Freeport berdalih, bahwa pembangunan smelter hanya akan dilakukan jika pemerintah memberikan kepastian perpanjangan kontrak setelah 2021. Muhktar mengatakan, dasarnya menyebut PTFI tidak beritikad baik setelah dia mengajukan sejumlah bukti terkait dengan sikap arogansi PT Freeport Indonesia.
Pertama, Freeport tidak punya itikad baik untuk membangun smelter, sesuai yang dipersyaratkan Undang Undang Minerba. Belakangan, Freeport baru mau melanjutkan pembangunan smelternya jika diberikan kepastian perpanjangan kontrak.
Alasan kedua, ketika Freeport bersurat untuk melakukan perubahan bentuk pengusahaan pertambangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), mereka menggunakan frase 'dengan syarat' yang salah satunya persetujuan operasi PTFI melewati tahun 2021 atau perpanjangan operasi 2021-2041. "Untung orang yang memimpin Kementerian ESDM, berkepala dingin seperti Pak Iganasius Jonan. Kalau saya menterinya, tanpa pikir panjang lagi, saya langsung usir mereka. Ini negeri kita, kok mereka mau mendikte. Seolah negara ini tidak punya kedaulatan," jelas dia.
Menurut Mukhtar, Freeport selalu mengatasnamakan Kontrak Karya (KK), untuk melanggar sejumlah undang-undang atau peraturan yang berlaku di Indonesia. Padahal, dalam pasal 3 kontrak karya ditegaskan bahwa PTFI adalah suatu badan usaha yang didirikan berdasarkan UU Republik Indonesia, serta tunduk kepada UU dan yurisdiksi pengadilan di Indonesia.
"Saya menganggap cara pandang Freeport yang menganggap dirinya setara dengan pemerintah adalah cara pandang keliru. Saya mengutip pandangan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana, bahwa Freeport harus membedakan pemerintah sebagai subyek hukum perdata dan sebagai subyek hukum publik," katanya.