Selasa 14 Mar 2017 06:59 WIB

Pleidoi Pasutri Produsen Vaksin Palsu Minta tak Dipenjara

Rep: Kabul Astuti/ Red: Andi Nur Aminah
Pasangan suami istri produsen vaksin palsu, Rita Agustina (kiri) dan Hidayat Taufiqurrahman, menjalani sidang dengan agenda pembacaan tuntutan di PN Bekasi, Senin (6/3). JPU menuntut keduanya 12 tahun penjara.
Foto: REPUBLIKA/Kabul Astuti
Pasangan suami istri produsen vaksin palsu, Rita Agustina (kiri) dan Hidayat Taufiqurrahman, menjalani sidang dengan agenda pembacaan tuntutan di PN Bekasi, Senin (6/3). JPU menuntut keduanya 12 tahun penjara.

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Pasangan suami istri produsen vaksin palsu, Rita Agustina dan Hidayat Taufiqurrahman, membacakan nota pembelaan atau pleidoi dalam sidang di Pengadilan Negeri Bekasi, Senin (13/3). Keduanya meminta keringanan hukuman.

Pengacara Rita Agustina dan Hidayat Taufiqurrahman, Roosyan Umar, meminta kedua terdakwa hanya dikenakan pasal 198 UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, bukan pasal 197 UU Kesehatan seperti yang dituntut oleh jaksa. "Kami minta yang diterapkan pasal 198 saja karena itu kan hanya denda saja. Kalau 196-197 kan berat, ancaman pidana 10 hingga 15 tahun penjara," kata Roosyan Umar usai persidangan, kepada Republika.co.id, Senin (13/3) petang. 

Umar berharap tidak ada hukuman kurungan bagi kedua terdakwa. Hal itu mungkin terjadi apabila pasal yang dikenakan majelis hakim pada kedua terdakwa adalah pasal 198 UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009. 

Pasal 198 UU Kesehatan menyatakan bahwa setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 108 dipidana dengan denda paling banyak Rp 100 juta rupiah. Dalam pleidoi yang dibacakan pengacara, dikatakan bahwa terdakwa Rita Agustina memutuskan berhenti bekerja dari RS Hermina Bekasi pada 2007. Ia lantas membuka bisnis pakaian dalam di SGC Cikarang pada 2009. Dalam kurun waktu itulah, kedua terdakwa berkenalan dengan terdakwa kasus vaksin palsu lain, yakni H Syafrizal dan Iin Sulastri.

H Syafrizal dan Iin Sulastri, yang sudah berpengalaman dalam peredaran obat palsu, kemudian mengajak dan mengajari terdakwa melakukan pembuatan vaksin palsu. Vaksin palsu yang diproduksi kedua terdakwa mulanya dibeli oleh H Syafrizal, Mirza, dan Sutarman. Serah terima biasa dilakukan di halaman parkir. 

Umar mengatakan, campuran bahan-bahan vaksin palsu itu dapat dibeli secara bebas di pasaran. Idealnya untuk mendapatkan vaksin dan obat-obatan yang berlogo merah harus menggunakan resep dokter, tapi kenyataannya tidak. Ia menyebut lemahnya pengawasan pemerintah menjadi salah satu celah peredaran vaksin dan obat palsu.

Kedua terdakwa ditangkap beserta barang bukti pada Juni 2016 di kediamannya, Perumahan Kemang Pratama Regency Rawalumbu, Kota Bekasi. Roosyan Umar tidak terima kedua terdakwa disebut produsen vaksin palsu. 

"Selama ini kan dibilang memproduksi. Kalau produksi itu kan skala besar, (sedangkan) dia hanya pembuat rumahan, amatiran, alat-alatnya sederhana, tidak dalam skala yang besar," ujar Umar. 

Menurut Umar, istilah produsen mempunyai pemahaman bahwa proses pembuatan dilakukan dengan peralatan yang lengkap, canggih, dan dibantu tenaga farmasi. Ia mengatakan, yang dilakukan Rita Agustina dan suaminya hanya pembuatan manual, bukan produksi. 

Karena itu, pengacara meminta pasal 196 dan 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 tidak dikenakan kepada kedua terdakwa. Umar melanjutkan, motif kedua terdakwa dalam produksi vaksin palsu hanya motif ekonomi saja, tidak ada unsur kehendak kesengajaan untuk mencelakai orang lain.

Sementara, terdakwa Hidayat Taufiqurrahman memprioritaskan adanya keringanan hukuman untuk istrinya. Menurut Hidayat, peran istrinya hanya membantu melakukan pembuatan vaksin palsu. Ia menyesal mengingat masa depan kedua anaknya yang kini tidak bisa berkumpul bersama orang tua. 

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement