Selasa 14 Mar 2017 07:37 WIB

Erdogan: Beberapa Negara Eropa tak Terima Kebangkitan Turki

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Turki Reccep Tayyip Erdogan
Foto: Reuters/Umit Bektas
Presiden Turki Reccep Tayyip Erdogan

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, beberapa negara Uni Eropa tidak dapat menerima kebangkitan Turki. Ia menuduh negara-negara itu bekerja sama melawan suara 'Ya' pada referendum konstitusi Turki pS 16 April mendatang.

"Beberapa negara Uni Eropa, sayangnya, tidak bisa menerima bangkitnya Turki, dan Jerman adalah ada di daftar paling atas. Jerman tanpa henti mendukung terorisme," kata Erdogan, dalam sebuah wawancara yang disiarkan langsung di saluran lokal A Haber lokal dan jaringan ATV, Senin (13/3) seperti dikutip Anadolu.

Presiden Erdogan juga mengecam Kanselir Jerman Angela Merkel. Pada Senin (13/3), Merkel mengatakan ia mendukung penuh dan memberikan solidaritas terhadap Belanda, dalam pertikaian yang terjadi antara Turki dan Belanda.

"Merkel! Anda memalukan! Mendukung Belanda, seperti yang Anda inginkan. Anda mendukung teroris," ujar Erdogan. Ia menambahkan, Turki telah mengirimkan 4500 file teroris kepada Jerman. Namun Jerman tidak melakukan tindakan apa pun.

Pernyataan Erdogan itu disampaikan di tengah kebuntuan masalah antara Turki dan Belanda. Sebelumnya pemerintah Belanda melarang pertemuan yang direncanakan menteri Turki di Rotterdam, menjelang referendum.

Pada Sabtu (11/3), Pemerintah Belanda membatalkan izin penerbangan Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu ke Belanda. Belanda juga memblokir konvoi yang membawa Menteri Keluarga Turki Fatma Betul Sayan Kaya dan memaksanya meninggalkan negara itu di bawah pengawalan polisi.

Baca juga, Turki Segel Kedutaan Besar Belanda.

Warga Turki yang melakukan unjuk rasa damai di Rotterdam, harus berhadapan dengan pentungan dan meriam air polisi Belanda. Peristiwa itu menuai kritik keras dari pemerintah Turki yang telah mengirim nota diplomatik ke Belanda sebagai protes.

Dua pekan lalu, menteri pemerintah Turki juga dilarang melakukan pertemuan di dua kota di Jerman. Erdogan mengatakan, ia tidak akan puas jika Belanda hanya memberikan permintaan maaf terkait masalah ini. "Mereka akan membayar harga untuk ini cepat atau lambat," ungkap dia.

Erdogan menuduh Jerman dan Belanda mengabaikan Konvensi Wina. Ia juga menyebut mereka sebagai negara fasis yang melakukan praktek Nazi. "Kita bisa menyebutnya Neo-Nazisme. Itu pemahaman mereka tentang Konvensi Wina," kata Erdogan.

Konvensi Wina merupakan perjanjian internasional yang ditandatangani pada 1961, yang mendefinisikan kerangka kerja hubungan diplomatik antara negara-negara merdeka. Konvensi tersebut juga menentukan hak-hak istimewa misi diplomatik yang memungkinkan diplomat untuk menjalankan fungsi mereka tanpa takut adanya paksaan atau pelecehan oleh negara tuan rumah.

Presiden Erdogan juga menyuarakan dukungan terhadap perubahan konstitusi yang diusulkan. Salah satunya peraturan yang akan menurunkan usia minimum sebagai syarat menjadi anggota parlemen dari usia 25 hingga 18 tahun. "Apa lebih indah dari ini? Ini membuka jalan bagi semua orang muda di Turki untuk mengambil langkah tegas terhadap masa depan. Energi mereka akan menyegarkan parlemen Turki," ujar Erdogan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement