REPUBLIKA.CO.ID,NEW DELHI -- Parlemen India memperpanjang jatah cuti melahirkan bagi wanita setempat dari 12 pekan menjadi 26 pekan akhir pekan lalu. Hal ini menguntungkan 1,8 juta perempuan yang bekerja di sektor publik. Namun, panjangnya cuti melahirkan tersebut juga mengancam bagi wanita untuk mendapatkan pekerjaan.
Penambahan masa cuti ini sekaligus mengangkat India menjadi negara di posisi ketiga sebagai negara yang memiliki masa cuti melahirkan panjang setelah Kanada (50 pekan) dan Norwegia (44 pekan). Tidak mengherankan, banyak yang memuji keputusan itu progresif. Anggota Dewan Direksi Infosys Mohandas Pai mengatakan, langkah tersebut adalah sejarah.
"Ini terlambat. Seorang ibu dapat menghabiskan enam bulan dengan anaknya tanpa harus khawatir tentang pekerjaannya," kata dia dilansir Forbes, Senin (13/3). Infosys merupakan salah satu perusahaan layanan TI terbesar di India.
Undang-undang baru akan berlaku untuk semua bisnis yang mempekerjakan 10 orang atau lebih dan hanya berlaku untuk kelahiran dua anak, di luar itu hak yang diterima hanya 12 pekan. "Ini sangat praktis," kata dia. Ia menambahkan, pemerintah telah memikirkan hal tersebut termasuk dari sudut pandang perusahaan.
Ketua TMI Group, sebuah perusahaan konsultan SDM T. Muralidharan setuju bahwa langkah ini telah lama terlambat. Namun tetap menjadi sebuah kemajuan bagi negara tersebut. "Ini adalah langkah besar bagi karyawan," ujarnya.
Sebaliknya, sebagian komunitas perusahaan perintis atau startup merasa langkah tersebut dapat menjadi kontra-intuitif karena biaya mempekerjakan perempuan meningkat. Kesediaan perusahaan untuk mempekerjakan seorang wanita mungkin benar-benar menurun.
Sebuah pendiri startup IOT yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan, pelaksanaan kebijakan tersebut tidak mudah bagi startup dengan margin tipis.
"Saya percaya pada bakat perempuan. Tapi mulai sekarang saya akan lebih cenderung untuk mempekerjakan seorang pria," kata pendiri yang memimpin tim dari 36 orang di Bangalore. Dia mengakui hal itu terdengar seksis. Namun, dia mengaku hanya tidak mampu untuk membayar gaji enam bulan tanpa output apapun.
Pendiri dan CEO Catalyst (sebuah platform online yang ditargetkan pada pengusaha) Sucharita S. Eashwar setuju bahwa perusahaan kecil akan sulit untuk mempertahankan biaya pembayaran cuti selama 26 pekan. Menurutnya, adanya penegak hukum terkait cuti akan membantu membawa tanggung jawab bersama dalam perawatan anak dan menghindari diskriminasi terhadap perempuan atas dasar cuti hamil.
Sayangnya menurut sebuah studi oleh Associated Chambers of Commerce & Industry of India, 25 persen dari ibu baru di India keluar dari pekerjaan mereka setelah melahirkan anak pertama. Alasannya, banyak dari para ibu kesulitan untuk menyeimbangkan jadwal kerja dengan perawatan anak.