REPUBLIKA.CO.ID, MOGADISHU -- Saalax Muxumed (9 tahun) terbaring lemah di atas tempat tidur rumah sakit, dengan jarum infus melekat di tubuhnya. Muxumed yang menderita malnutrisi itu menjadi wajah bagi krisis kemanusiaan terburuk di dunia sejak 1945 yang terjadi di Somalia.
Dia dan ibunya adalah warga Somalia dari Ethiopia, yang melakukan perjalanan sulit dengan melintasi perbatasan ke Republik Somaliland. Mereka percaya, mereka dapat menemukan harapan dan bantuan di tengah bencana kekeringan buruk yang terjadi selama tiga tahun berturut-turut di Tanduk Afrika.
"Kami datang sebagai pengungsi, hanya untuk bertahan hidup," kata ibu Muxumed, janda lima anak, di ibu kota Republik Solamaliland, Hargeisa.
Di seberang Somaliland, tepatnya di negara bagian Puntland dan Somalia selatan, tragedi kelaparan parah sedang terjadi. Sebanyak 6,2 juta warga Somalia, atau lebih dari setengah populasi warga, sedang membutuhkan bantuan pangan mendesak.
Di hadapan Dewan Keamanan PBB di New York pada Jumat (10/3) lalu, Sekretaris Jenderal untuk Urusan Kemanusiaan PBB, Stephen O'Brien, mengatakan lebih dari 20 juta orang di empat negara Afrika menghadapi bencana kelaparan. Keempat negara itu adalah Somalia, Yaman, Sudan Selatan, dan timur laut Nigeria.
Jumlah penduduk kelaparan yang begitu besar tersebut membuat bencana kali ini menjadi krisis kemanusiaan terbesar sejak akhir Perang Dunia II. Tanpa upaya global yang terkoordinasi, akan lebih banyak lagi orang yang mati kelaparan dan banyak orang yang menderita dan mati karena penyakit.
Menurut O'Brien, hingga Juli nanti keempat negara membutuhkan bantuan sebesar 4,4 miliar dolar AS, untuk mencegah bencana kelaparan semakin meluas. Bantuan sedang dalam penyaluran, termasuk bantuan dana dari Inggris dan Amerika Serikat (AS).
The Guardian melaporkan, sejauh ini tidak terlihat adanya distribusi pangan yang dilakukan oleh badan-badan bantuan atau pemerintah pusat. Relawan hanya mendirikan tempat pengungsian sementara di luar Kota Caynabo.