Kamis 16 Mar 2017 15:24 WIB

Saat Kiai Hasyim Menyinggung Dunia Fana di Tulisan Terakhirnya di Republika

Red: Teguh Firmansyah
Tulisan refleksi Hasyim Muzadi.
Foto: Republika
Tulisan refleksi Hasyim Muzadi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH Hasyim Muzadi berpulang ke Sang Khalik untuk selama-lamanya, Kamis (16/3). Kiai Hasyim telah meninggalkan banyak ilmu bermanfaat bagi para murid maupun yang pernah bersinggungan dengannya.

Bagi Republika, mantan ketua PBNU ini juga termasuk sosok yang tidak terlupakan. Ia telah menorehkan nasihat maupun ilmunya melalui tulisan di Republika.

Bahkan di tengah kondisinya yang sakit ia masih menyempatkan waktu untuk menulis. Berikut tulisan terakhir Hasyim Muzadi di surat kabar Republika yang dicetak pada 5 Maret 2017 lalu. Tulisan itu berjudul "Menghitung Kekurangan".

Menghitung Kekurangan

Oleh: KH Hasyim Muzadi.

Khayru awqootika Waqtun tasyhadu fiihi wujuuda faaqotika wa turoddu fiihi Ilaa wujuudi dzillatika

Sebaik-baik waktumu adalah ketika engkau menyadari kekuranganmu dan engkau pun kembali mengakui kerendahanmu.

Untaian kata-kata indah di atas terlontar dari salah seorang mistikus agung dalam Islam, Ibnu 'Athoillah as-Sakandari. Para salik biasa menggunakan kata-kata simbolis saat menerjemahkan firman  Allah. Mereka memberi tafsir atas firman-firman agung dengan cara yang khas. Termasuk ketika memberi pemaknaan atas substansi dan urgensi waktu bagi anak manusia. Waktu adalah salah satu hal terpenting dalam kehidupan. Bahkan, waktu adalah kehidupan itu sendiri.

Seperti biasa, beliau memberi kita panduan serbasingkat. Pendek, tetapi penuh makna. Sedikit, tapi selalu bertenaga. Itulah keistimewaan mutiara al-Hikam salah satu magnum opus yang diwariskan kepada kita. Demikian penting makna waktu sehingga semua hal ditentukan dengannya. Kita lahir dengan waktu  dan akan pergi meninggalkan dunia fana dengan waktu. Kita bergabung dengan waktu: sesuatu yang telah Allah ciptakan sebelum kita lahir ke dunia.

Baca juga, Pesan-Pesan Kiai Hasyim Saat di Rumah Sakit.

Begitulah makam waktu bagi kehidupan. Ia menempati ruang yang sangat penting. Ia mengawali dan ia pula yang mengakhiri setiap kegiatan. Sering kita jumpai Allah bersumpah atas nama waktu. Tengoklah Alquran: kita akan dapati Allah bersumpah atas nama waktu Ashar, waktu Dhuha, waktu malam, waktu siang, dan waktu lain. Allah ingatkan kita: pasti merugi siapa saja yang tidak mengindahkan waktu. Sebab, waktu yang tersedia bagi kita sudah dijatahkan. Tak kurang, tak lebih.

Agar setiap makhluk dapat menerjemahkan misi penciptaannya dalam kehidupan, Allah menyiapkan bekal. Bekal yang kita butuhkan dalam mengarungi bahtera kehidupan. Karena misinya sama, maka bekal yang kita terima tak jauh berbeda. Dan bekal paling nyata adalah waktu. Kita diberi garis waktu kapan mesti memulai tugas dan waktu kapan akan menyudahi semuanya. Bila ajal waktu pencabutan nyawa sudah tiba, usai sudah misi kita di dunia.

Dalam konteks kita, waktu tersusun dari banyak dimensi. Detik berdetak menjadi menit. Menit berkumpul menjadi jam. Jam bergerak menjadi hari. Hari berubah menjadi minggu. Minggu berputar menjadi bulan. Bulan berotasi menjadi tahun. Tahun adalah hitungan terpanjang bagi anak manusia. Sebagai hamba Allah, mestinya tak ada detik yang lewat tanpa amal saleh. Sebab, waktu yang tersedia tidaklah banyak. Waktu di dunia tak lebih dari sekadar terbangun dari mimpi.

Waktu akan mengantarkan kita memasuki alam lain yang masanya jauh lebih panjang daripada waktu di  dunia. Nah! Amal saleh yang kita kumpulkan selama waktu di dunia akan sangat ditentukan kegunaannya bagi kita oleh Allah melalui rahmat-Nya. Rahmat alias kasih sayang Allah sajalah yang bisa menyelamatkan kita dari tajamnya sayatan waktu dalam kehidupan yang akan datang. Maka, mari dengan segela kerendahan, memelas kepada Allah agar kita dapat berbuat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement