REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemampuan daya beli petani nasional terus meningkat. Salah satu indikator peningkatan tersebut terlihat dari upah buruh tani. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, upah nominal harian buruh tani nasional pada Februari 2017 naik 0,55 persen dibandingkan Januari 2017. Demikian juga upah riil buruh tani naik 0,16 persen.
“Ini menggambarkan adanya peningkatan daya beli buruh tani,” kata Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian (Kementan) Agung Hendriadi di Jakarta, Kamis (16/3).
Menurut Agung, belakangan ada opini menyesatkan yang menyatakan tingkat kesejahteraan petani menurun karena Nilai Tukar Petani (NTP) turun. Padahal, mengukur kesejahteraan petani dari indikator NTP adalah kurang tepat.
“NTP bukan satu-satunya indikator kesejahteraan petani. Ada Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) yang lebih mencerminkan kelayakan usaha petani,” ujarnya.
Agung menjelaskan, naik turunnya NTP tidak semestinya diukur secara bulanan atau musiman. Untuk menganalisis NTP, mestinya dalam kurun waktu enam bulan atau setahun. Sekadar catatn, NTP 2016 mencapai 101,65 atau meningkat 0,06 persen dibandingkan NTP 2015 yang sebesar 101,59 persen. NTUP rata-rata nasional pada 2016 pun berada di posisi tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Pada 2016, NTUP mencapai 109,86 atau naik 2,3 persen dibandingkan 2015.
“Lebih tepat lagi, apabila kesejahteraan petani itu juga diukur berdasarkan aset yang dimiliki, apakah meningkat ataupun menurun dari tahun ke tahun,” ujarnya.
Agung melanjutkan, publik juga memahami bahwa investasi pemerintah, khususnya dalam pengadaan infrastruktur dan alat mesin pertanian (alsintan), serta subsidi pupuk dan bantuan benih akan berdampak pada menurunnya biaya produksi yang harus dibayar oleh petani. “Nah, hal ini mungkin tidak pernah diperhitungkan dalam menghitung NTP. Secara logika, jika harga yang harus dibayar petani bisa ditekan, maka pendapatan bersih petani pun akan meningkat.”
Mengingat sebagian besar petani di perdesaan, kata Agung, maka indikator kesejahteraan petani dapat dilihat dari tingkat kemiskinan maupun gini rasio di perdesaan. Jumlah penduduk miskin di perdesaan juga semakin berkurang dari 17,67 juta jiwa pada Maret 2016 menjadi 17,28 juta jiwa pada September 2016. Angka ini semakin menurun dibandingkan 2015.
Gini rasio September 2016 berada di angka 0,316, turun dibandingkan bulan Maret 2016 (0,327) maupun bulan September 2015 (0,329). Rasio ini jauh lebih kecil dibandingkan rasio di perkotaan pada September 2016 yang masih sebesar 0,409.
“Menurunnya angka kemiskinan di pedesaan ini merupakan prestasi besar. Gini rasio di perdesaan juga semakin membaik, menurun dari tahun ke tahun,” kata Agung.
Adapun upaya lain yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan memotivasi untuk selalu berproduksi secara berkelanjutan adalah melalui pengendalian harga. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan harga dasar ditetapkan secara hati-hati dengan mempertimbangkan margin yang wajar diterima oleh petani dan tidak mendongkrak inflasi.
Sebagai contoh, kata Agung, HPP untuk gabah kering panen (GKP) ditetapkan Rp 3.700 per kilogram sampai dengan kadar air 30 persen yang tertuang dalam Permentan Nomor 3/2017. Dengan aturan ini, manakala harga di tingkat petani lebih rendah dari HPP tersebut, maka pemerintah melakukan intervensi pembelian gabah petani pada harga HPP.
“Ini menunjukkan bahwa pemerintah hadir ketika petani mengalami permasalahan dan semata-mata ditujukan untuk melindungi petani sebagai pejuang penyedia pangan,” kata Agung.