Jumat 17 Mar 2017 14:48 WIB

Panel Myanmar Minta Rohingya Diakui, Suu Kyi: Pemerintah Sepakat

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ilham
Pengungsi etnis Rohingya di kamp pengungsi Baw Pha Du di Sittwe, Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Foto: Khin Maung Win/AP
Pengungsi etnis Rohingya di kamp pengungsi Baw Pha Du di Sittwe, Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Panel Myanmar pimpinan mantan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan mengatakan, Myanmar harus segera membiarkan Muslim Rohingya pulang ke rumahnya masing-masing, Kamis (17/3). Ia juga meminta kamp-kamp pengungsi Rohingya di Rakhine State segera ditutup.

Saat ini, lebih dari 120 ribu orang tinggal di tempat penampungan sementara sejak krisis komunal tahun 2012. "Ini benar-benar tentang waktu, mereka harus menutup kamp dan mengizinkan penghuninya merasakan kebebasan dan hak kependudukan," kata Annan di Genewa.

Annan adalah pemimpin panel yang diminta Aung San Suu Kyi menyelesaikan masalah etnis di Rakhine State. Kantor Suu Kyi telah menerima laporan Annan dan menyambut proposal tersebut.

Panel mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali program menjadikan etnis Rohingya warga sah Myanmar. Selain itu, pemerintah diminta menerapkan larangan terhadap gerakan baik Muslim Rohingya maupun komunitas Buddha di Rakhine.

Beberapa jam setelah rekomendasi ini dipublikasikan, kantor Suu Kyi mengatakan, pemerintah sepakat. "Pemerintah sepakat dan yakin hal ini akan membawa imbas positif pada proses rekonsiliasi dan perkembangan nasional," katanya.

Lebih lanjut pemerintah mengatakan, sebagian besar rekomendasi akan diimplementasikan pada waktunya. Sementara sebagian akan diterapkan sesuai situasi di lapangan.

Panen pimpinan Annan ini juga menyerukan penyelidikan independen terhadap insiden yang terjadi sejak 9 Oktober tahun lalu. Insiden ini membuat kondisi di Rakhine semakin panas dan ribuan orang terpaksa mengungsi ke Bangladesh.

Annan meminta penyelidikan dilakukan berimbang terhadap tindakan pasukan keamanan di Rakhine. "Kami punya rekomendasi yang bisa diimplementasikan sekarang dan membantu meningkatkan situasi," kata Annan.

Ia berharap pemerintah bisa bergerak cepat untuk mencegah hubungan antar-komunitas semakin memburuk. Termasuk hubungan antara pemerintah dengan komunitas Muslim di Rakhine.

Saat ini, sekitar 1,1 juta Muslim Rohingya tidak punya kewarganegaraan, meski telah puluhan tahun tinggal di Myanmar. Hak kependudukan mereka ditolak, begitu juga dengan hak membentuk pergerakanan dan akses terhadap pelayanan publik.

Mayoritas Buddha di Myanmar menganggap mereka sebagai imigran tak diinginkan dari Bangladesh. Panel meminta pemerintah segera memulai registrasi kependudukan Muslim yang lahir di Rakhine. "Ini tidak benar di negara mana pun di dunia, bahwa bayi baru lahir tidak punya sertifikat kelahiran," kata seorang anggota panel, Ghassan Salame. Aktivitas pencatatan sipil ini tidak pernah dilakukan terhadap Muslim di sana.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement