REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia, mengenal jenis kasidah Maulid Habsyi, Diba', Burdah, dan Barzanji. Semua syair dan bait-bait yang terdapat dalam kasidah maulid itu ditujukan untuk mengagungkan dan memuji kemuliaan Rasulullah SAW.
Sepanjang sejarahnya, pembacaan syair-syair maulid tersebut biasanya paling sering dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal, yaitu bulan kelahiran Muhammad SAW. Dan, syair-syair itu dibaca dengan merenungi makna dan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Dalam perkembangannya, pembacaan syair-syair maulid ini tak sekadar dibaca dengan lantunan nada dari mulut, tapi diiringi dengan sejumlah alat musik kasidah, seperti gendang, tamborin, harmonika, dan lainnya. Dengan bantuan alat musik ini, peringatan dan pembacaan syair maulid itu menjadi semakin semarak dan menarik.
Dari sinilah kemudian muncul istilah kasidah, gambus, marawis, dan lainnya. Pembacaan syair-syair maulid yang diselingi dengan alat musik ini diyakini merupakan produk asli musik Islam yang berkembang dari tanah Arab.
Salah satu jenis musik berlatar Islam-Arab yang hingga kini masih populer adalah marawis. Jenis musik ini dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dan ulama yang berasal dari Yaman, beberapa abad yang lalu.
Menurut Hasan Shahab, pegiat seni marawis Betawi, musik ini disebut marawis karena menggunakan alat musik khas yang disebut marwas atau marawis. ''Karena kesenian ini memakai alat musik yang namanya marawis, dari dulu orang menyebutnya sebagai marawis,'' ujar pemilik kelompok musik gambus Arrominia.
Marawis adalah alat musik mirip gendang. Diameternya sekitar 20 cm dan tinggi 19 cm. Selain menggunakan marawis, alat musik tetabuhan lainnya yang digunakan adalah hajir atau gendang besar. Hajir ini memiliki diameter sekitar 45 cm dan tinggi 60-70 cm. Kesenian ini juga menggunakan dumbuk, sejenis gendang yang berbentuk seperti dandang, tamborin, dan dua potong kayu bulat berdiameter 10 cm.
Musik ini dimainkan oleh minimal sepuluh orang. Setiap orang memainkan satu buah alat sambil bernyanyi. Terkadang, untuk membangkitkan semangat, beberapa orang dari kelompok tersebut bergerak sesuai dengan irama lagu. Semua pemainnya pria dengan busana gamis dan celana panjang serta berpeci. Uniknya, pemain marawis bersifat turun-temurun. Tak heran bila sebagian besar masih dalam hubungan darah--kakek, cucu, dan keponakan. ''Nggak selalu bersaudara sih, tapi kebanyakan memang begitu,'' ujar Wahyu, pembina marawis. Dalam grup marawis binaannya, ada tujuh orang yang masih memiliki hubungan darah.
Karena berupa musik tepuk (tabuh), tak heran bila telapak tangan pun harus ikut menjadi korban. "Tangan kapalan sudah biasa, apalagi sampai sobek," komentar Muhammad Iqbal, penabuh rumbuk dalam grup Ar Rhotibiyah. Iqbal, yang telah sembilan tahun belajar menabuh musik ini, mengaku lebih suka menabuh rumbuk. "Kalau marawis itu susah, jenis-jenis pukulan yang harus dihafal banyak," ujarnya dengan logat Betawi yang kental.
Menurut Hasan, hampir di setiap daerah yang terletak di Semenanjung Melayu memiliki kesenian marawis. ''Malah, ada yang menyebut seni ini marwas. Kesenian ini telah ada sejak lama di Indonesia,'' paparnya.
Dulu, saat Walisongo menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, alat musik marawis digunakan sebagai alat bantu syiar agama. ''Marawis tak bisa lepas dari nilai-nilai religius. Awalnya, musik ini dimainkan saat merayakan hari-hari besar keislaman, terutama maulid Nabi,'' katanya.