REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pedoman bersama ceramah di rumah ibadah yang sedang disusun Kemenag RI mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyarankan pedoman tersebut nantinya jangan sampai mengekang kebebasan menyampaikan ajaran agama.
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Cholil Nafis mengatakan, kalau pemerintah memberikan rambu-rambu, etika, dan pedoman berbicara di rumah ibadah, hal tersebut sah-sah saja. Tapi, sifat pedomannya tidak mengikat. "Artinya tidak bisa ada sanksi atau pelanggaran hukum," kata dia, Ahad (19/3).
Sebab, kata Cholil, pedoman ceramah di rumah ibadah sifatnya hanya sebagai pedoman dan kode etik saja. "Kita harapkan jangan sampai pemerintah mengekang kebebasan berbicara apalagi mengekang terhadap kebebasan menyampaikan ajaran agama," katanya kepada Republika.co.id.
Menurut dia, yang boleh diatur adalah hubungan agama dengan negara. Tetapi agama sebagai keyakinan, nilai dan prinsip, hal ini tidak bisa diatur oleh pemerintah karena bukan kewenangannya. Sebab, yang berkaitan dengan nilai keagamaan merupakan kewenangan dari majelis agama.
Oleh sebab itu, yang bisa dilakukan adalah mencoba mencari titik kesepakatan pendapat. Sehingga menjadi kesepakatan umum dalam nilai kebangsaan dan kenegaraan. Tapi, kata dia, mengenai persoalan benar dan tidaknya menurut agama, itu kembali lagi kepada majelis agama masing-masing.
"Ajaran agama bukan wilayahnya negara, pemerintah tidak punya hak untuk menilai benar tidaknya, salah dan benarnya terhadap ajaran yang disampaikan," ujarnya.
Ia menyampaikan, karena pedoman bersama ceramah di rumah ibadah bukan undang-undang (UU), tidak ada sanksi dan pedomannya tidak mengikat. Ia juga menilai, perlu segera disahkan UU kerukunan antar umat beragama. Kalau menjadi UU baru peraturannya bisa mengikat.
"Kalau pedoman tidak mengikat karena itu kerangka umum tentang etika agama hubungannya dengan bangsa dan negara," ujarnya.