REPUBLIKA.CO.ID, TIMIKA -- Sekelompok masa berjumlah 50-an orang yang mengatasnamakan Masyarakat Adat Independen menggelar demonstrasi di Bundaran Timika Indah, jalan Budi Utomo, Timika, Papua, Senin (20/3). Mereka menuntut PT Freeport Indonesia segera ditutup.
Vinsen Oniyoma, juru bicara demonstran mengatakan, kekisruhan antara pemerintah dan PT Freeport telah berdampak luas pada dunia, Indonesia, Papua, dan Kabupaten Mimika. "Hal tersebut membuat munculnya banyak persepsi dan kepentingan di kalangan elit nasional Indonesia sampai ke Papua di mana mereka tidak pernah berbicara tentang situasi yang sebenarnya terjadi di masyarakat akar rumput yang mengalami dampak langsung darl keberadaan PT Freeport," katanya.
Ia juga mengatakan, sejak masuknya Freeport di Timika yang mendapat legalitas dari undang-undang penanaman modal asing pertama tahun 1967 di Indonesia, tidak pernah melibatkan dan menghargai hak-hak masyarakat adat dua suku besar, Amungme dan Kamoro sebagai pemilik hak ulayat. Ketika kesadaran masyarakat adat muncul dengan aksi masyarakat pada tahun 1996 di Timika yang mengorbankan nyawa manusia dan materi barulah dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang disebut dana satu persen itu diturunkan untuk menutupi pelanggaran yang di lakukan PT Freeport kepada masyarakat sekian tahun lamanya.
Selain itu, pelanggaran kerusakan lingkungan akibat limbah, pelanggaran HAM, konflik sosial dan rusaknya tatanan hidup masyarakat yang sampai saat ini masih dirasakan meninggalkan goresan luka di hati masyarakat adat. "CSR atau dana satu persen yang diberikan pun tidak membuahkan kesejahteraan, melainkan menimbulkan konflik internal di kalangan masyarakat akar rumput dikarenakan para elit memanfaatkan untuk kepentingannya, sementara masyarakat akar rumput tidak pernah merasakan dampak CRS itu sendiri hingga saat ini," katanya.
Untuk itu, atas nama Masyarakat Adat Independen, mereka mengambil sikap dengan tegas dan menuntut agar Freeport segera ditutup. Mereka juga menuntut kekayaan Freeport diaudit oleh badan independen.
Selain itu, mereka menuntut agar Freeport wajib membayar upah dan pesangon pekerja yang telah dirumahkan dan yang telah di-PHK sesuai ketentuan yang berlaku. Mereka juga meminta agar Freeport dan pemarintah lndonesia bertanggung jawab mangembalikan kerugian alam yang sudah dirusak dan membiarkan masyarakat yang menentukan masa depan partambangan di Timika. Aksi tersebut dikawal ketat belasan aparat kepolisian Mimika dengan bersenjata lengkap.