REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, Provinsi Papua, Bangun S Manurung mengatakan pemerintah Indonesia harus mempunyai rencana induk atau master plan jika hendak mengambil alih Freeport. Hal ini untuk mengantisipasi kekosongan produksi setelah Freeport memutuskan untuk angkat kaki dari Indonesia.
Bangun menjelaskan, selama ini negosiasi antara Indonesia dan Freeport terpusat di Pemerintah Pusat. Namun, di sisi lain, pihaknya meminta agar Pemerintah Daerah bisa dilibatkan dalam negosiasi ini. Ia menjelaskan, salah satu yang juga perlu dipikirkan secara matang oleh pemerintah adalah rencana ke depan pengelolaan Freeport.
"Karena itu kita berharap misalnya pemerintah sudah memutuskan apapun itu ketika diputuskan ada contigency plan sehingga rencana yang sudah sangat matang," ujar Bangun usai diskusi di Gedung Bidakara, Senin (20/3).
Bangun menjelaskan jika kontrak karya harus dihentikan dan Freeport memilih untuk angkat kaki dari Indonesia, maka pemerintah pusat harus memiliki program dalam waktu yang singkat bisa mengambil alih Freeport. "Contoh kalau KK berhenti pemerintah harus ada program dari pemerintah. Kalau diberikan ke perusahaan lain itu prosesnya butuh berapa tahun berjalan, kan produksi berhenti pemerintah harus punya contigency plan rencana betul-betul supaya kehidupan sosial tidak terganggu," ujar Bangun.
Bangun menjelaskan, persoalan Freeport jika dilihat secara lebih luas bukan sekadar persoalan bisnis. Ada kondisi sosial ekonomi yang sangat berpengaruh pada masyarakat Papua dan khususnya Indonesia secara umum. Ia mengatakan jika ketidakjelasan keputusan berlarut, maka akan banyak masyarakat yang terkena dampaknya.
"Kalau untuk PHK pegawai Freeport langsung belum ada yang diberhentikan, tapi yang dari kontrak sudah ribuan orang ya berhenti. Pegawai Freeport asing maupun dalam negeri banyak dirumahkan, mereka masih status pegawai dan menerima gaji pokok belum kena PHK," ujar Bangun.
Baca juga: Freeport Ingin Penyelesaian Masalah Kontrak tak Sampai Arbitrase