Senin 20 Mar 2017 15:43 WIB

Bekraf Diminta Hati-Hati dalam Liberalisasi Industri Film

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Ilustrasi Gedung Bioskop
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ilustrasi Gedung Bioskop

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) diminta lebih waspada dalam menerapkan liberasasi industri perfilman nasional. Apalagi, setelah pemerintah mencoret Daftar Negatif Investasi (DNI) dari sektor ini sejak 2016 lalu.

Teranyar, Bekraf mulai menyeriusi tawaran Korea Selatan atas rencana hibah senilai 5,5 juta dolar AS atau setara dengan Rp 72,3 miliar untuk penerapan Integrated Box Office System (IBOS). Diterapkannya IBOS mendorong transparansi dari para pengusaha bioskop untuk membuka semua data termasuk jadwal penayangan film, hingga jumlah penonton per judul film.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) untuk mempertimbangkan berbagai aspek termasuk untung rugi dari sisi pengusaha bioskop dalam menjalankan kebijakan IBOS. Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang UKM dan Industri Kreatif Erik Hidayat menilai, Bekraf harus melakukan kajian matang termasuk feasibility study agar kebijakannya tak merugkan industri perfilman yang justru mulai tumbuh positif dalam dekade terakhir ini. "Kalau memang tidak sesuai dan merugikan industri dalam negeri, tentu saja harus ditolak," kata Erik.

Deputi Bidang Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Edy Putra Irawady menilai, pembukaan data industri seharusnya tak bisa dilakukan sembarangan. Ia khawatir, liberalisasi yang berlebihan justru akan memukul pelaku industri dalam negeri yang selama ini bertahan. Menurutnya, akses data termasuk jumlah penonton, jadwal tayang, jumlah layar, dan data bioskop lainnya hanya bisa diakses penuh oleh otoritas pajak dan penegak hukum. "Kecuali barang atau jasa itu disubsidi pemerintah sehingga publik berkepentingan terhadap pemanfaatan subsidi," ujar Edy, di Jakarta, Senin (20/3).

Edy bahkan menilai bahwa masih banyak isu-isu industri kreatif lainnya yang perlu didorong Bekraf ketimbang hanya membuka keran liberalisasi lebar-lebar untuk industri film tanah air. Edy juga mempertanyakan apa kepentingan yang dibawa Korea Selatan sehingga rela memberikan hibah sebesar Rp 70 miliar lebih. Padahal, kata dia, bila Korea Selatan memang berniat masuk ke Indonesia pintu investasi akan terbuka lebar.   

"Ada hal lain yang lebih penting seperti pengembangan industri dan perdagangan ekspornya. Perfilman itu banyak subsektornya. Sebagian besar diliberalisasi dalam perpres DNI yang lalu. Terus apa industri film kita jadi maju? Untuk kepentingan apa korea sampai hibahkan uang begitu besar?" kata Edy.

Edy mengatakan, sesuai UU tentang Perfilman, selama industri bioskop pun sudah melaporkan data mengenai jumlah penonton kepada menteri terkait. Edy mengingatkan, sebaiknya Bekraf fokus pada tugas dan fungsi Bekraf. Tugas Bekraf, kata dia, adalah membina para pelaku kreatif, agar produksi dan pemasaran ke-16 produk industri kreatif turut meningkat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement