REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dalam sidang lanjutan ke-15 kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama yang digelar di Auditorium, Kermenterian Pertanian, Jalan Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (21/3), tim penasihat hukum menghadirkan C Djisman Samosir ahli hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung dihadirkan sebagai saksi ahli hukum.
Kepada Majelis Hakim, Djisman menuturkan ihwal perbedaan Pasal 156 dan Pasal 156 a dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Diketahui, kedua pasal tersebut menjerat Ahok lantaran pidato pejawat tersebut saat sosialisasi budidaya ikan kerapu di Pulau Pramuka , Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016 yang menyinggung surat Al-Maidah ayat 51.
Menurut Djisman, KUHP, yang merupakan aturan hukum dari masa kolonial Belanda, pada awalnya hanya mencantumkan Pasal 156. Pasal 156a baru dibuat oleh pemerintah melalui Penetapan Presiden (PNPS) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965. Pemerintah, sambung Djisman, mengeluarkan PNPS karena KUHP sebelumnya tidak secara tegas mengatur hukum untuk tindakan penodaan agama.
Pasal-pasal serupa yang membahas tindakan penodaan atau terkait kebencian terhadap suatu golongan, yaitu 154, 155, dan 156, baru secara spesifik mengatur hukuman untuk tindakan penyebaran kebencian terhadap suku, golongan, pemerintah, dan kelompok tertentu.
"Ada sebenarnya pasal yang mengatur (hukuman untuk tindakan) penodaan agama, tapi saya berpendapat, tidak diatur secara tegas, secara eksplisit. Sementara hukum pidana itu harus gramatikal, mengatur secara tegas," jelasnya dalam ruang persidangan, Auditorium Kementerian Pertanian, Jalan Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (21/3).
Djisman menerangkan pasal 156 mengatur hukuman pidana penjara paling lama empat tahun untuk seseorang yang dengan sengaja menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia.
Sementara, Pasal 156a mengatur pidana penjara paling lama lima tahun untuk seseorang yang secara spesifik mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
"Ada kondisi-kondisi di negara ini, yang menurut penglihatan pemimpin negara, ada persoalan-persoalan keagamaan. Sehingga disisipkan lah 'a'-nya untuk membedakan antara Pasal 156 dengan 156 a," terangnya.