REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Kanker merupakan penyebab utama kematian di kalangan penduduk asli Australia yakni Aborigin. Namun, rasa takut, stigma, dan rasa malu menyebabkan hal itu jarang dibicarakan, alias tabu.
Aborigin Australia memang lebih kecil kemungkinannya didiagnosis dengan kanker, tetapi secara signifikan justru lebih mungkin meninggal akibat penyakit tersebut. Seringkali, gejala dan diagnosis diabaikan karena ketakutan mengenai berbagai hal di sekitar kanker.
Program Lateline ABC menemui beberapa warga Aborigin dan menanyakan tentang bagaimana mereka menghadapi diagnosa bahwa mereka menderita kanker serta bagaimana mereka berusaha memecahkan tabu dalam komunitas mereka.
Rodney Graham: kanker usus
Rodney Graham benar-benar mernghindar setelah didiagnosis pada tahun 2015. Selama tujuh bulan dia tidak mau ketemu dokternya setelah diberitahu bahwa dia menderita kanker usus.
Namun pada akhirnya, dia memberanikan diri menghadapi diagnosisnya dan mendapatkan perawatan.Dia harus menempuh perjalanan 700 kilometer dari Woorabinda di Queensland Tengah ke Brisbane untuk dioperasi.
Menurutnya, dia tidak tahan dengan kota besar, bahkan tidak suka pergi ke Rockhampton yang lebih kecil daripada Brisbane. "Saya tidak tahan dengan Rocky (Rockhampton - red.). Tapi Brisbane, itu malah lebih besar lagi," katanya.
Sekarang Rodney tidak keberatan membicarakan penyakitnya dan ingin membantu orang lain di komunitasnya menghadapi kanker. "Hal ini mungkin terjadi pada orang lain dan mereka bilang, 'Yah kita akan ke Rodney, dia tahu semua tentang hal itu'," ujarnya mengutip pembicaraan warga setempat.
"Saya akan memberi saran dan melihat bagaimana kelanjutannya," katanya.
Rodney menghentikan kebiasaannya minum miras beberapa tahun lalu. Menurutnya, hal ini yang mungkin menyelamatkan hidupnya."Saya kira jika saya masih minum, saya tidak akan berada di sini. Anda tahu apa maksud saya," katanya.
Colleen Lavelle: tumour otak
"Saya rasa sekitar delapan atau sembilan tahun lalu saya didiagnosis menderita tumor otak," kata Colleen Lavelle.
"Alasan kenapa saya tidak ingat pasti karena saya pikir hal itu bukan hari yang perlu diingat. Bukan hari yang bisa dirayakan," katanya.
Tumor yang diderita Colleen dianggap sudah tidak bisa dioperasi, yang berarti sudah tahap akhir.
Namun pikiran mengenai empat anaknya memotivasi dirinya untuk terus bertahan.
"Siapa lagi yang akan merawat mereka?" katanya.
"Saya akan tidak jelas jika ada departemen [keselamatan anak] atau orang seperti itu yang datang dan mengurus anak-anakku," katanya.
Colleen tinggal di Brisbane dan melalui blognya dia merupakan orang yang memberi dukungan bagi warga Aborigin lainnya dalam menghadapi kanker, membantu mereka dengan hal-hal praktis dan menjadi suara ramah di ujung telepon.
Dia juga mendampingi beberapa pasien ke rumahsakit dan ingin agar hal itu lebih mudah bagi relawan Aborigin melakukannya.
"Jika Anda berasal dari Selat Torres dan datang ke sini, lalu orang berbicara dengan cepat tentang semua hal terkait medis kepada Anda, tentu Anda akan bilang, 'apa?'," katanya.
"Jika ada seseorang yang dari kalangan Anda sendiri tentunya akan lebih mudah," kata Colleen.
Tina Rankin: kanker serviks
Tina Rankin yang biasa disapa Bibi Tina merupakan penyintas kanker, tapi melihat beberapa kerabat dekatnya menyerah pada penyakit itu.
"Semenit Anda duduk di sana dengan orang itu, yang begitu sehat, kemudian saat Anda melihatnya lagi, dia sudah begitu sakit, mereka jadi kurus begitu sampai Anda tidak bisa mengenalinya," ujarnya.
"Orang menganggapnya sebagai penyakit mematikan," sambung Bibi Tina.
"Mereka melihat penderita di bangsal kanker dan hal itu membuat mereka merasa tertekan, dan pulang ke rumah dengan pikiran bahwa mereka akan berakhir seperti itu," katanya.
Bibi Tina mengatakan orang harus tahu bahwa ada bantuan yang tersedia bagi penderita kanker.
Dia adalah anggota dari Kelompok Perempuan Woorabinda yang membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kanker sehingga penderita tidak merasa terisolasi.
"Saat Anda sehat dan baik-baik saja, Anda punya banyak teman," katanya.
"Tiba-tiba sakit, Anda mengetahui menderita kanker, tidak ada lagi teman, rasanya seolah-olah Anda sendirian," katanya.
"Ada saat-saat ketika saya ingin pergi dan bunuh diri akibat depresi," kata Bibi Tina. "Tapi saya merenung dan memikirkan berbagai hal, saya menarik diri keluar dari lubang dalam itu."
Sevese Isaro: kehilangan ayah akibat kanker
Sevese Isaro, atau biasa disapa Tatay, adalah seorang penyiar radio di Woorabinda. Dia mengalami langsung betapa sulitnya membicarakan kanker, setelah kehilangan ayahnya karena penyakit itu beberapa tahun lalu.
"Semua orang mencoba untuk tidak membicarakannya," ujarnya.
"Saya kembali ke minuman keras, semua orang menghadapinya dengan cara mereka sendiri," katanya.
Tatay mengatakan banyak orang tidak pergi ke dokter saat menduga mereka mungkin memiliki kanker.
"Mereka menyadari ada sesuatu yang salah dengan mereka, tetapi tidak ingin pergi karena takut mendengar jawabannya," katanya.
"Saya kira setelah orang mendengar kata kanker, mereka mulai ketakutan dan secara otomatis putus harapan," ujarnya.
Diterbitkan Pukul 11:30 AEST 22 Maret 2017 oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris.