REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Lutfi Sarif Hidayat SEI *)
Perbedaan Pada Selain Ilmu Fiqh
Adanya perbedaan pendapat dikalangan ahli ilmu juga terjadi dalam disiplin ilmu selain fiqh. Sebagai contoh dalam ilmu Al-Quran para ulama berbeda dalam penentuan jumlah total ayat Alquran. Meski sepakat bahwa jumlahnya tidak kurang dari 6.200-an ayat, akan tetapi para ulama tidak sependapat berapa sebenarnya jumlah ayat Alquran. Nafi’ Maula Ibnu Umar yang merupakan ulama Madinah berpendapat bahwa jumlah ayat di dalam Alquran adalah 6.217 ayat. Syaibah yang juga ulama Madinah mengatakan jumlah tepatnya 6.214 ayat.
Abu Ja’far adalah ulama Madinah, dan beliau berpendapat jumlah ayat di dalam Alquran adalah 6.210 ayat. Ibnu Katsir seorang ahli tafsir dan merupakan ulama Makkah mengatakan, jika jumlah ayat di dalam Alquran adalah 6.220 ayat. ‘Ashim yang merupakan ulama Bashrah mengatakan bahwa jumlah ayat Alquran adalah 6.205 ayat. Hamzah yang merupakan ulama Kufah sebagaimana yang diriwayatkan mengatakan bahwa jumlahnya 6.236 ayat. Sedangkan Ulama Syria sebagaimana diriwayatkan oleh Yahya Ibnu Al-Harits mengatakan bahwa jumlahnya 6.226 ayat.
Dalam tema lain di ilmu Alquran ada perbedaan yang mungkin sudah banyak dikenal oleh orang, yaitu perbedaan qiraat. Perbedaan dalam qiraat ini sering dikenal dengan istilah qiraah sab’ah atau qiraah ‘asyrah, di mana kadang perbedaan qiraat ini juga mengakibatkan perbedaan arti dan makna, yang berikutnya mempengaruhi perbedaan hukum fiqh. Ada yang membaca ayat tentang wudhu dengan “wa arjulakum” dan “wa arjulikum”. Dua bacaan ini melahirkan perbedaan makna dan hukum.
Perbedaan juga terjadi dalam penentuan jumlah ayah hukum di Alquran. Alquran adalah sumber utama dalam masalah hukum atau fiqh. Namun kenyataannya jika diperhatikan, tidak semua ayat Alquran selalu mengandung hukum-hukum fiqh. Banyak dari ayat itu yang terkait juga dengan masalah keimanan atau akidah, akhlak, nasihat tentang sikap dan perilaku yang baik, isyarat tentang ilmu pengetahuan dan sains, kisah-kisah tentang kehidupan umat di masa lalu dan sebagainya. Sementara ayat hukum adalah ayat-ayat yang menjelaskan hukum-hukum fiqhiyah dan menjadi dalil atas hukum-hukumnya baik secara nash atau secara istimbath.
Dalam penentuan jumlah ayat hukum ini, para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa jumlah ayat hukum itu terbatas pada beberapa ayat saja. Mereka yang mendukung pendapat ini antara lain adalah Al-Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mustashfa, juga Al-Imam Ar-Razi dalam kitab beliau Al-Mahshul. Dan juga Al-Mawardi dalam kitab Adabul Qadhi. Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah ayat hukum itu hanya sekitar 150 ayat saja.
Sebagian lainnya mengatakan, bahwa jumlahnya kurang lebih 200-an ayat saja. Sebagian lain mengatakan bahwa jumlahnya sekitar 500-an ayat. Al-Imam As-Suyuthi mengatakan di dalam kitab Al-Itqan bahwa jumlahnya ayat-ayat Alauran yang mengandung hukum mencapai 500-an ayat. Hal yang sama juga disebutkan oleh Ibnu Qayyim di dalam kitab Madarijus Salikin, bahwa jumlah ayat-ayat hukum mencapai 500-an ayat.
Pendapat kedua mengatakan, bahwa ayat-ayat hukum itu tidak terbatas hanya pada ayat-ayat tertentu saja. Najmuddin A-Thufi mengatakan, bahwa benar jika ayat-ayat hukum itu tidak terbatas hanya pada angka-angka itu saja. Dalam pandangan beliau dan ulama yang sependapat, bahwa seluruh atau sebagian besar ayat-ayat Alquran mengandung hukum yang menjadi sumber utama Fiqh Islam. Meski hanya terselip secara implisit dimana kebanyakan orang kurang menyadarinya. Al-Qarafi mengatakan bahwa tidak ada satu pun ayat kecuali terkandung di dalamnya suatu hukum.
Bijak menyikapi perbedaan
Melihat fenomena adanya perbedaan di tengah-tengah umat dalam memahami nash-nash sehingga berdampak pada perbedaan dalam mengamalkan masalah-masalah cabang ajaran Islam, maka dibutuhkan penyikapan yang benar. Sikap paling utama adalah saling memahami, menghargai dan menghormati perbedaan tersebut selama masih dalam koridor perbedaan syar’i. Bentuk menghargai, memahami dan menghormati ini bisa ditunjukkan dengan sikap tidak saling menyalahkan dan tidak eksklusif semisal harus shalat dengan imam yang sependapat, atau bahkan tidak mau mendengarkan ceramah dari mereka-mereka yang dinilai berbeda dalam madzhab atau pendapat.
Penyikapan berikutnya adalah menjadi dorongan bagi semuanya untuk terus belajar. Karena tidak dipungkiri, ajaran Islam sangatlah luas dan ilmu-ilmu Islam (syar’i) sangat mungkin tersebar ke banyak tempat dan ulama, sehingga saling melengkapi. Selain itu kemampuan keilmuan yang berbeda jauh dengan para ulama-ulama yang terbukti dengan karya-karyanya.
Pertanyaan sederhana, apakah sudah menguasi bahasa arab, ilmu ushul fiqh, ulumul quran, ulumul hadits, ilmu tafsir dan ilmu-ilmu lainnya yang menjadi syarat mutlak dimiliki dalam memahami nash-nash syar’i?. Atau pertanyaan lain, sudah berapakah hadits yang dihafal?
Al-Imam Ahmad bin Hanbal pernah mengatakan, bahwa seorang mujtahid harus hafal dan menguasai minimal 500 ribu hadis. Dan jika membaca kitab-kitab hadis yang ada, ternyata kitab-kitab hadis tidak hanya seperti yang umumnya orang kenal, yaitu kutubus sittah atau kutubut tis’ah. Tercatat dalam khazanah keilmuan Islam, terdapat banyak sekali kitab-kitab hadits yang di susun para ulama. Sehingga jika dijumlahkan bisa ratusan bahkan jutaan hadits yang ada, terlepas dari perbedaan status hadis menurut para ulama.
Lalu berapa yang sudah dihafal? Oleh karena itu, sudah bukan zamannya menyalahkan jika berbeda pendapat, kecuali jika memang sudah masuk dalam penyimpangan dan lainnya. Itu pun harus dengan cara penyikapan yang benar sesuai Islam. Selain itu juga sudah tidak waktunya untuk membentur-benturkan antara ulama satu dengan ulama lain, misal membenturkan antara Al-Imam Asy-Syafi’i dengan Al-Imam Bukhari. Atau yang sering terjadi membenturkan pendapat ulama fiqh satu dengan hadits shahih, sehingga seakan ulama tersebut tidak mengikuti hadits shahih. Tentu ini adalah sikap berlebihan dan gegabah.
Sebab, ulama-ulama fiqh pada zaman terdahulu, semisal Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i mereka menerima hadits melalui jalur masing-masing, yang kadang antara satu imam dengan imam lainnya berbeda dalam menemukan hadits. Dan ini tentu berdampak kepada perbedaan pendapat. Para ulama fiqh dulu pun banyak yang mempunyai kitab-kitab hadits sendiri yang dijadikan sebagai pegangan mereka, semisal Al-Imam Malik dengan Al-Muwatha, Al-Imam Asy-Syafi’i dengan Musnad Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad dengan Musnad Ahmad-nya dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, tidak perlu membenturkan antara pendapat satu imam dengan Shahih Bukhari misalkan. Karena ulama-ulama fiqh bertanggung jawab terhadap pendapat mereka dengan hujjah dan pemahaman terhadap nash-nash masing-masing. Dan jika diamati dari tahun wafat para ulama-ulama fiqh ataupun ulama-ulama hadits, maka akan bisa disimpulkan bahwa perbedaan masa juga sangat menentukan perbedaan dalam menerima hadits Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-ImamAbu Hanifah wafat sekitar tahun 150 H, Al-Imam Malik wafat sekitar tahun 179 H, Al-Imam Asy-Syafi’i wafat sekitar tahun 204 H, Al-Imam Ahmad wafat sekitar tahun 241 H, Al-Imam Bukhari wafat sekitar tahun 256 H, Al-Imam Muslim wafat sekitar tahun 261 H, Al-Imam Ibnu Majah wafat sekitar tahun 273 H, Al-Imam Abu Dawud wafat sekitar tahun 275 H, Al-Imam Tirmidzi wafat sekitar tahun 279 H, Al-Imam An-Nasa’i wafat sekitar tahun 303 H, Al-Imam Daruqutni wafat sekitar tahun 385 H dan Al-Imam Ibnu Hibban wafat sekitar tahun 478 H.
Kemudian jika membaca tentang sejarah khazanah keilmuan Islam, ulama-ulama fiqh khususnya tidak hanya pendiri empat madzhab sebagaimana yang orang kenal. Masih banyak ulama-ulama ahli fiqh selain pendiri empat madzhab. Hanya saja memang kitab-kitab, murid-murid serta jalur keilmuan hingga sampai sekarang yang terkodifikasi dengan lengkap adalah empat madzhab. Mereka di antaranya Al-Imam Hasan Al-Bashri (w. 110 H), Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri (w. 161 H), Al-Imam Al-Auza’i (w. 157 H), Al-Imam Al-Laits bin Saad (w. 175 H), Al-Imam Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Al-Imam Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Al-Imam Abu Tsaur (w. 246 H), Al-Imam Ibnu Jarir At-Thabari (w. 310 H).
Bahkan sebelum masa ulama-ulama ada masa sahabat/sahabiyah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam yang dari mereka juga banyak menjadi seorang ahli ilmu. Mereka diantaranya adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, ‘Aisyah, Zaid, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu bakar, Utsman, Ummu Salamah, Anas, Abu Said, Abu Hurairah, Abdullah bin Amr, Ibnu Zubair, Abu Musa, Jabir, Muadz bin Jabal, Saad bin Abi Waqqash, Salman, Abu ad-Darda’, Hasan, Husain, Ubay bin Kaab, Abu Ayyub, Asma’, Zaid bin Arqam, Tsauban dan Buraidah ridhwanullahi ‘alaihim.
Oleh karena itu, benarlah dalam menyikapi perbedaan serta terus belajar hingga menjadi seorang muslim yang layak menjadi penghuni syurga Allah ta’ala. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Direktur Lembaga Pembelajaran & Pengamalan Al-Quran (LPPQ) Darud Dakwah