REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehadiran Ahmad Ishomuddin sebagai saksi meringankan terdakwa kasus penodaaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dipenuhi kritik. Namun, Ishomuddin menyatakan dengan mantap, siap untuk menerima resiko apa pun, termasuk mempertaruhkan jabatannya.
"Pecat ya pecat saja, emang jabatan segalanya buat saya?" kata Ishomuddin, Jumat (24/3).
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memecat Ishomuddin karena pernyataannya saat menjadi saksi Ahok. MUI menilai, pernyataan Ishomuddin bisa memecah belah umat Islam.
Komisi Hukum MUI Anton Digdoyo mengatakan, pemecatan terhadap Ishomuddin dilakukan setelah Anton mengirim kirim pesan WA ke ketum dan waketum MUI Pusat usai sidang Ahok, Selasa (21/3) malam. Pesan agar Ishomuddin juga ditembuskan ke sekjen MUI. Dalam pesannya Anton menyatakan, pihaknya akan keluar dari MUI.
"Jika tidak dipecat dalam waktu satu bulan ke depan, saya resign dari MUI," ujar Anton dalam pesannya tertulisnya yang diterima Republika.co.id, Kamis (23/3).
Ishomuddin bersaksi sebagai ahli agama. Dalam sidang ke-15 pada (21/3) di Auditorium Kementrian Pertanian, Jakarta Selatan ini, Ishomuddin mengatakan hadir atas keinginan pribadi dan terlepas dari posisinya sebagai rais syuriah PBNU, dan dosen IAIN Raden Intan Lampung.
"Saya hadir sebagai pribadi. Motifnya, agar dewan hakim memperoleh masukan seimbang terkait masalah ini dan bisa objektif," ujar Ishomuddin setelah proses sidang selesai di auditorium Kementerian Pertanian.
Menurut Ishomuddin, alasannya menjadi saksi ada tiga hal. Pertama, persoalan niat. Dosen Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung ini mengatakan, niat hanya diketahui oleh orang yang menyatakan perkataan.
Kedua, momen kampanye Ahok. Rais syuriah PBNU ini menganggap tidak masuk akal jika seorang yang sedang berkampanye merendahkan apa yang disucikan oleh calon pemilihnya. Terakhir, sisi kepribadian dan kebiasaan Ahok sehari-hari.
Ishomuddin mengaku tidak melihat Ahok memiliki kebiasaan untuk merendahkan orang lain. Dalam penuturannya, Ishomuddin menegaskan Basuki Tjahja Purnama tidak bermaksud menistakan agama Islam, al-Maidah ayat 51, dan ulama.
Terkait tafsir al-Maidah ayat 51, Ishomuddin menegaskan, Ahok tidak menafsirkan sama sekali ayat tersebut. Dalam hal ini, menurut dia, Muslim dan non-Muslim berhak menjadi pemimpin. "Jangan menjegal menggunakan ayat Alquran untuk kepentingan politik. Itu sangat buruk dalam konteks bangsa Indonesia sebagai negara yang demokrasi," kata Ismohuddin.