REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah menilai, kebijakan Amerika Serikat yang menerapkan sistem pemeriksaan media sosial bagi para pengaju visa ke AS, akan mengakibatkan tingkat kepopuleran AS merosot di masyarakat dunia. Tak hanya itu, peraturan tersebut juga akan menimbulkan rasa antipati terhadap AS.
Menurut Reza, prosedur keamanan dan pemeriksaan ketat, termasuk memeriksa media sosial para pengaju visa sebenarnya telah diberlakukan sejak dulu. “Istilahnya itu background checking,” ujarnya kepada Republika.co.id, Jumat (24/3).
Kemudian perihal media sosial, Reza menerangkan, AS sebenarnya telah melakukan penghimpunan data terhadap siapapun yang mencari keterangan soal AS di internet. “Jadi misalnya kita mencari di mana lokasi Los Angeles, di mana lokasi gedung pemerintahan mereka, termasuk lokasi pariwisata, itu sebenarnya sudah langsung terdata oleh Homeland Security. Dan ini sudah dilakukan sejak dulu,” tuturnya menjelaskan.
Semakin seseorang rutin mencari tahu tentang AS, maka data mereka akan kian bertumpuk di Homeland Security. “Jadi apa yang mereka lakukan sekarang (pemeriksaan media sosial), itu sebetulnya sudah basi. Perbedaannya, sekarang ini mereka lebih terang-terangan kepada publik soal ini,” kata Reza.
Ia menilai, bila peraturan tentang pemeriksaan ini diterapkan secara terus menerus, AS harus siap menanggung imbasnya. Paling utama, AS tentu akan semakin tidak populer di masyarakat dunia. Sebab pemeriksaan rekam jejak atau kata kunci tertentu di media sosial, tidak hanya menyasar pengaju visa saja, melainkan seluruh masyarakat dunia.
Hal tersebut tentu akan menciptakan rasa antipati masyarakat internasional terhadap AS. “Karena bukan hanya prosedurnya semakin lama dan sulit (untuk mendapatkan visa), tapi karena mereka juga tentu merasa dicurigai akibat peraturan ini,” ujar Reza.