REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lewat kebijakan-kebijakannya, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, seolah memberikan kesan anti terhadap Muslim. Hal ini terlihat dalam surat perintah eksekutif yang telah ditandatanganinya, terutama pembatasan masuknya warga negara dari enam negara mayoritas Muslim ke Amerika Serikat.
Kondisi ini membuat Trump dinilai sebagai sosok yang tidak bersahabat bagi dunia Islam. ''Saya kira agak sulit bagi masyarakat Muslim untuk melihat Trump sebagai orang yang bersahabat dengan dunia Islam,'' ujar Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dewi Fortuna Anwar kepada Republika.co.id, awal Maret, lalu.
Langkah Trump merevisi surat perintah eksekutif itu pun tidak membantu persepsi yang telah terbangun sebelumnya tentang sosok Trump terhadap dunia Islam. Sebelumnya, Trump memang telah merevisi Surat Perintah Eksekutif tersebut. Salah satu poin perubahannya adalah mengeluarkan Irak dari tujuh negara mayoritas Muslim, yang warga negaranya dibatasi masuk ke AS.
Lebih lanjut, Dewi menilai, langkah Trump tersebut justru memberikan kesan target yang disasar Trump adalah Muslim, bukan untuk memerangi terorisme dan ekstrimisme. ''Langkah Trump membuat perintah eksekutif itu tidak membantu, karena kesannya yang diberikan bahwa ini targeting Muslim, bukan targeting terorisme,'' kata Pakar Politik Internasional LIPI tersebut.
Saat ini, lanjut Dewi, dalam upaya untuk memerangi terorisme dan ekstrimisme, seluruh negara-negara di dunia harus saling bahu-membahu dan bekerja sama. Pasalnya, ancaman terorisme dan ekstrimisme saat ini sudah bersifat transnasional dan global. Terlebih, tidak mengidentikan satu agama tertentu dengan aksi-aksi terorisme yang selama ini terjadi.
Terkait prospek hubungan kerja sama antara Indonesia dengan AS, Dewi menilai, selama ini hubungan kerja sama tersebut sudah terjalin dengan baik. Terutama jika menilik adanya kepentingan bersama antara AS dan Indonesia dalam menjaga perdamaian di kawasan Asia Pasifik, terlebih dengan meningkatnya kekuatan Cina. Namun, Dewi mengkhawatirkan, kerja sama ini dapat terganggu jika nantinya AS, dibawah Presiden Trump, mengeluarkan kebijakan-kebijakan kontraproduktif, terutama yang terkait dengan dunia Islam.
''Bagaimanapun juga, dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat sensitif dengan kebijaka-kebijakan yang kelihatan anti-Islam. Kalau kebijakan dari Washington itu nantinya kontraproduktif, maka Indonesia harus bersuara keras. Dalam hal ini terus memantau dan mengingatkan Pemerintah AS yang baru untuk tidak membuat statemen-statemen yang justru memperkeruh suasana,'' katanya.