REPUBLIKA.CO.ID, MEDITERANIA -- Sekitar 250 orang terancam akan tenggelam di Laut Mediterania setelah dua perahu karet di temukan di pesisir Libya. Juru bicara lembaga swadaya masyarakat asal Spanyol Proactiva Open Arms, Laura Lanuza mengatakan, kapal mereka menemukan lima mayat terapung di sekitar perahu karet itu pada Kamis, tepatnya 30 kilometer dari pesisir Libya.
Menurut Laura seperti dikutip Aljazeera, kapal itu biasanya mampu mengangkut 120-140 orang. “Kami tidak punya penjelasan, selain bahwa perahu karet itu bisa jadi penuh penumpang,” kata dia kepada AFP.
Laura menambahkan, mayat yang ditemukan diidentifikasi sebagai pria asal Afrika berusia 16-25 tahun. Mereka diperkirakan tenggelam 24 jam sebelum ditemukan di perairan utara Pelabuhan Sabratha Libya.
Juru bicara penjaga pantai Italia yang bergabung dalam tim penyelamat mengonfirmasi kelima mayat itu telah dibawa ke kapal penyelamat. Kapal penjaga pantai akan tetap berada di area untuk mengantisipasi adanya panggilan darurat.
"Ini gambaran pahit penderitaan nyata yang tidak tampak di Eropa,” tulis Proactiva Open Arms di akun Facebook-nya.
Di tengah kondisi laut pada musim dingin, para migran dan pengungsi dari Libya terombang-ambing di atas kapal yang disewa para pedagang manusia (human traffickers) tersebut. Dalam beberapa bulan terakhir, jumlah mereka meningkat dari yang pernah tercatat.
Organisasi International untuk Migrasi (IOM) mengatakan, jumlah pengungsi tewas di Laut Mediterania meningkat dalam sembilan pekan pertama 2017, jika dibandingkan tahun sebelumnya. Sejak 1 Januari hingga 9 Maret, setidaknya 521 orang tenggelam ketika berusaha menyeberang lautan. Tahun sebelumnya, jumlah ini mencapai 471 orang. Secara keseluruhan, jumlah kematian pada 2016 tercatat 5.000 kasus.
IOM melaporkan, lebih dari 6.000 orang telah diselamatkan di tengah rute Mediterania. Mereka menyeberang dari Libya ke Italia dalam beberapa hari. Sejauh ini, 16.248 migran telah tiba di Italia, melebihi jumlah tahun lalu sebanyak 13.825 orang.
Bulan lalu, para pemimpin negara Eropa menandatangani rencana kontroversial untuk membantu mengatasi aluran migrasi dari Afrika ke Eropa. Salah satu kesepakatan itu menyebutkan Uni Eropa akan memberikan bantuan sebesar 215 juta dolar atau sekitar Rp 2,9 triliun kepada pemerintah Libya. Dana ini diberikan untuk menghentikan laju perahu di wilayah perairan Libya.
Uni Eropa juga berjanji akan menyediakan kamp-kamp yang ‘aman’ di Libya serta pemulangan sukarela agar para pengungsi mau kembali ke negara asal. Rencana ini dikritik oleh beberapa kelompok pemberi bantuan. Mereka mengatakan para pemimpin itu telah mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan salah memahami kondisi di Libya.
Mereka menyebut, pemerintahan Fayez Serraj yang didukung PBB rapuh dan hanya setengah berkuasa di negara tersebut. Sejak perjanjian itu dibuat pada Februari, konsultasi antara Pemerintah Libya dengan perwakilan menteri dalam negeri Italia dan negara Eropa lain telah berjalan.
Senin lalu, Serraj meminta tambahan dana senilai 864 juta dolar atau sekitar Rp 11,5 triliun untuk keamanan, penyelamatan, dan perlengkapan darurat guna mengatasi imigrasi ilegal tersebut.