REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tokoh Pondok Pesantren Modern Gontor menilai, Ahmad Ishomuddin bukanlah seorang pakar mengenai tafsir Alquran.
Hal itu disampaikan Wakil Rektor Universitas Darussalam (Unida) Gontor, Hamid Fahmy Zarkasyi. Menurut dia, yang marak terjadi belakangan ini mengenai kasus Ahok termasuk dalam ranah perang pemikiran (ghazwul fikri). Umat Islam pun dimintanya mawas diri.
Seperti diketahui, pada Selasa (21/3) lalu, Ahmad Ishomuddin menjadi saksi yang meringankan terdakwa kasus penistaan Alquran, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dalam kesaksiannya, Ishomuddin tidak mempersoalkan Muslim memilih calon pemimpin non-Muslim.
“Saksi ahli dalam sidang Ahok kemarin. (Ishomuddin?) betul. Ternyata dia bukan orang yang pakar dalam bidangnya. Dan kita dari pesantren, bagaimana mau (menanggapi secara) positif-positif mengenai yang seperti ini,” kata Ustaz Hamid Fahmy Zarkasyi saat dihubungi, Ahad (26/3) malam.
Putra kesembilan KH Imam Zarkasyi, pendiri Pondok Pesantren Modern Gontor, itu menegaskan, umat Islam harus memiliki sikap waspada dalam suatu ghazwul fikri.
“Peperangan itu bisa jadi positif atau negatif. Tetap saja, yang namanya kebenaran harus tetap kita pertahankan. Bukannya menebarkan hoax dan lain sebagainya,” kata direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) ini.
Sejak Kamis (23/3), Majelis Ulama Indonesia telah memberhentikan Ahmad Ishomuddin dari keanggotaan MUI. Sebab, pernyataan Ahmad Ishomuddin di sidang Ahok tersebut dinilai dapat memecah-belah umat Islam.
Terpisah, pada Jumat (24/3), Ishomuddin telah membantah berita tentang bahwa dirinya menyatakan Alquran surah al-Maidah ayat 51 sebagai tak relevan atau basi. Yang benar, lanjut Ishomuddin, konteks waktu turunnya ayat tersebut mesti dilihat yakni bahwa larangan bagi orang beriman agar tidak berteman setia dengan orang Yahudi dan Nasrani lantaran kedua pihak itu memusuhi Nabi Muhammad SAW.
Ishomuddin menyebut telah mengkaji puluhan kitab tafsir untuk bisa menafsir ayat tersebut. Sehingga, ia berkesimpulan, pada masa itu al-Maidah ayat 51 tidak ada kaitannya dengan pemilihan pemimpin, apalagi pemilihan gubernur.
“Kata awliya yang disebut dua kali dalam ayat tersebut jelas terkategori musytarak, memiliki banyak arti/makna, sehingga tidak monotafsir, tetapi multi tafsir. Pernyataan saya tersebut saya kemukakan setelah meriset dengan cermat sekitar 30 kitab tafsir, dari yang paling klasik hingga yang paling kontemporer,” kata Ishomuddin, Jumat.