Senin 27 Mar 2017 07:22 WIB

Produsen di Inggris Khawatir Hambatan Perdagangan Pasca-Brexit

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Nur Aini
Brexit
Foto: Ap Photo
Brexit

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Produsen Inggris akan menanggung hambatan perdagangan dengan Uni Eropa. Hal itu jika Perdana Menteri Theresa May akan meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan perdagangan baru.

May telah memperingatkan 27 negara Uni Eropa lain jika tidak ada kesepakatan akan lebih baik daripada transaksi yang buruk. "Ide untuk bisa pergi dengan tangan kosong mungkin taktik negosiasi, tetapi dalam kenyataannya akan memberikan pukulan berisiko dan mahal," kata Terry Scuoler, chief executive dari Organisasi Manufaktur Inggris (EEF).

Menurutnya, retorika dari pemerintah Inggris perlu berfokus pada pencapaian kesepakatan yang akan bekerja untuk Inggris dan Uni Eropa. May telah memutuskan untuk membuat kontrol atas imigrasi dan telah mengakui Inggris harus melepaskan keanggotaannya dari pasar tunggal dan adat istiadat Uni Eropa serikat untuk mencapai hal tersebut. Dengan tidak adanya kesepakatan, perdagangan antara Inggris dan Uni Eropa akan mengikuti tarif dan aturan organisasi perdagangan dunia dan tarif.

EEF mengatakan, ekspor manufaktur Inggris untuk Uni Eropa seperti mobil, bahan kimia, dan mesin bisa menghadapi tarif rata-rata 5,3 persen. Ada juga risiko hambatan lain untuk perdagangan melalui prosedur kepabeanan dan biaya kepatuhan yang lebih tinggi.

Lebih dari setengah ekspor manufaktur Inggris ditujukan ke Uni Eropa. Banyak pabrik mengandalkan barang dan bahan baku di Uni Eropa selama produksi. Tapi kini Brexit membuat produsen Inggris akan menghadapi peningkatan hambatan perdagangan.

Menteri Brexit Inggris David Davis mengatakan, sejak referendum tahun lalu, pemerintah belum menilai dampak ekonomi pergi dari UE tanpa kesepakatan perdagangan baru. Untuk diketahui, manufaktur menyumbang 10 persen dari perekonomian Inggris. Perusahaan di sektor juga khawatir tentang akses masa depan mereka ke pasar tunggal Uni Eropa, khususnya di industri perbankan.

Secara terpisah, sebuah lembaga penelitian menyambut baik rencana pemerintah untuk meninggalkan Uni Eropa sebagai cara terbaik bagi Inggris menerima penawaran perdagangan dengan negara-negara lain, meski ada risiko gangguan dalam perdagangan dengan blok itu. "Inggris dan Uni Eropa harus bertujuan untuk kerja sama penuh sebagai bagian dari perjanjian perdagangan bebas yang luas," kata analis kebijakan Terbuka Eropa Aarti Shankar.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement