REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program amnesti pajak akan segera berakhir 31 Maret 2017. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengatakan, realisasi dari sisi repatriasi masih jauh di bawah target.
Oleh karena itu, pemerintah dinilai harus segera mengevaluasi rendahnya minat peserta amnesti pajak, merepatriasi harta, dan mengambil langkah-langkah perbaikan yang fundamental dan signifikan.
''Di samping itu, besarnya harta WNI yang telah dideklarasi sebagai harta luar negeri tetap menjadi peluang bagi investasi pasca-amnesti,'' kata Yustinus, dalam siaran persnya, Senin (27/3).
Bertolak dari pelaksanaan amnesti pajak, kata dia, pemerintah membutuhkan koordinasi, serta integrasi dan sinergi yang lebih baik, konkret, dan terukur, terutama secara vertikal harus mampu melibatkan peran aktif Pemerintah Daerah. Partisipasi masyarakat dalam program amnesti pajak juga dinilai belum maksimal. Perluasan basis pajak, yang salah satunya dicerminkan dengan tambahan wajib pajak baru, justru tidak terjadi.
Meski banyak faktor yang mempengaruhi, setidaknya dapat dinilai bahwa sosialisasi dalam arti membangun kesadaran bahwa ada program amnesti telah berhasil dicapai. ''Namun belum terjadi internalisasi, bahwa program ini memang kebutuhan dan harus diikuti,'' ucap Yustinus.
Dengan kata lain, kata dia, pasca-amnesti harus digencarkan ekstensifikasi (penambahan wajib pajak baru) melalui kerja sama antarlembaga yang efektif. Sebagaimana secara politik disepakati, program amnesti pajak adalah pintu pembuka dan jembatan menuju reformasi pajak yang menyeluruh.
Reformasi pajak ini akan menjadi babak baru sistem perpajakan yang disangga pilar kepercayaan antara otoritas pajak dan wajib pajak. Menurut dia, peta jalan reformasi harus segera diselesaikan dan disepakati, termasuk dukungan politik dan komitmen DPR penting untuk terus ditagih, agar pasca-amnesti tidak justru timbul ketidakpastian baru.