REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum tata negara Universitas Andalas, Khairul Fahmi menilai, pencurian berkas perkara perselisihan Pilkada Kabupaten Dogiyai di Mahkamah Konstitusi (MK) belum dikategorikan permainan mafia peradilan seperti yang biasa terjadi. Menurutnya, kalaupun ingin disebut permainan mafia, menurutnya itu hanyalah mafia kecil-kecilan yang ingin memperjualbelikan informasi.
"Di perkembangan yang terakhir (kasus pencurian berkas MK) itu lebih ke mencuri, kemudian memphotocopy dan itu diserahkan ke pihak-pihak tertentu. Kalau prosesnya seperti itu, belum pada konteks mafia peradilan seperti yang kita lihat dalam kasus-kasus yang terjadi di MA. Kalau pun akan dianggap sebagai mafia, melihat perkembangannya, ini kecil-kecilan aja," kata Khairul saat dihubungi Republika.co.id, Senin (27/3).
Mafia peradilan pada umumnya, lanjut Fahmi adalah permainan di tingkat peradilan. Apakah itu oleh hakim, panitera ataupun staf-staf di pengadilan yang tujuannya untuk memenangkan atau mengalahkan salah satu pihak yang berperkara. Sementara, dalam perkembangan kasus tersebut, sama sekali tidak melibatkan hakim. "Kalau mafia yang melibatkan hakim, kita bisa lihat kalau ingin memenangkan atau mengalahkan perkara, kalau hakim ngapain dia melakukan hal bodoh begitu kan (pencurian berkas perkara, Red)? Kalau ingin memenangkan atau mengalahkan perkara cukup di putusan aja," ucap Fahmi.
Sebelumnya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat membenarkan adanya berkas perkara yang hilang, yakni berkas sengketa Pilkada Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua. Hilangnya berkas tersebut tiada lain karena dicuri oleh empat orang pegawai MK yang terdiri dari dua orang Satpam senior dan dua orang PNS di lembaga tersebut.