REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Sebuah aliansi Kelompok Hak Asasi Manusia Tunisia meminta pemerintah untuk membatalkan peraturan yang melarang perempuan Muslim menikah dengan pria non-Muslim. Aliansi yang terdiri dari 60 kelompok ini menandatangani pernyataan yang menyerukan agar keputusan dicabut. Menurut mereka, pelarangan nikah beda agama hanya akan merusak hak asasi manusia dalam hal untuk memilih pasangan.
Dilansir dari news24.com (27/3), Presiden asosiasi Beity, Sana Ben Achour mengatakan, asosiasi tidak dapat menerima keputusan yang tidak memiliki nilai keadilan bagi banyak orang. Surat Keputusan yang dikeluarkan pada tahun 1973 oleh kementerian kehakiman menyatakan bahwa seorang pria non-Muslim yang ingin menikahi seorang wanita Tunisia harus masuk Islam dan menyerahkan sertifikat sebagai bukti telah menajdi Muslim.
Sementara itu, ketua asosiasi Keadilan Untuk Kebebasan Indivdu, Wahid Ferchichi mengatakan, keputusan tersebut melanggar konstitusi Tunisia yang mempromosikan kesetaraan antara semua warga negara, tanpa memandang jenis kelamin. Koalisi mengatakan, akan melakukan kampanye untuk memobilisasi opini publik dan mencari pertemuan dengan para menteri keadilan, dan kepala pemerintahan. Mereka berharap keputusan akan dihapus pada bulan November mendatang.
Tunisia dipandang sebagai negara yang menjamin hak-hak perempuan. Konstitusi baru pada 2014 menyebutkan, negara menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pasal 21 dari konstitusi menyatakan, semua warga negara, laki-laki dan perempuan, memiliki hak dan kewajiban yang sama, dan sama di depan hukum tanpa diskriminasi.
Tapi, diskriminasi terhadap perempuan masih kerap terjadi di Tunisia. Terutama, dalam hal warisan dan kehidupan keluarga.