Rabu 29 Mar 2017 18:13 WIB

Mengenal Rukhsah

Rep: Hafidz Muftisany/ Red: Agung Sasongko
Beribadah/ilustrasi
Beribadah/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manusia diciptakan Allah hakikatnya hanya untuk beribadah kepada-Nya. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Bekal yang luar biasa ini mesti digunakan oleh manusia untuk total menghamba kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman, “Bertakwalah engkau kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa.” (QS Ali Imran: 102).

Allah menyuruh kita untuk tidak sekejap waktu pun bermaksiat atau berleha-leha. Setiap detik kita harus melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Namun, Allah SWT juga menciptakan manusia dengan segala keterbatasan. Fisik manusia tidak akan bisa bekerja selama 24 jam terus-menerus. Beberapa mufasir pun berpendapat, ayat 102 surah Ali Imran di atas telah di-mansukh (diganti hukumnya) dengan ayat 16 surah at-Taghabun. “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.”

Dalam khazanah fikih, bentuk kelonggaran dalam ibadah ini disebut rukhsah yang secara bahasa bermakna keringanan atau kelonggaran. Pengertrian rukhsah dalam kaidah ushul fikih adalah keringanan bagi manusia mukallaf dalam melakukan ketentuan Allah SWT pada keadaan tertentu karena ada kesulitan. Beberapa ulama mendefisinikan rukhsah sebagai kebolehan melakukan pengecualian dari prinsip umum karena kebutuhan (al-hajat) atau keterpaksaan (ad-darurat).

Hukum rukhsah pada dasarnya adalah ibahah (dibolehkan) secara mutlak karena sekadar adanya kebutuhan atau karena keterpaksaan. Jika unsur kebutuhan sudah terpenuhi dan keterpaksaan sudah hilang, maka hukumnya kembali ke semula, yakni azimah (melakukan seuatu perbuatan seperti yang telah ditetapkan Allah SWT).

Dalil diperbolehkan rukhsah terdapat dalam Alquran surah Al Baqarah ayat 173, “..Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakan bangkai) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.”

Contoh azimah adalah berpuasa pada bulan Ramadhan wajib hukumnya bagi mukallaf, namun bisa menjadi rukhsah untuk orang yang sakit atau dalam perjalanan dengan menggantinya di hari lain. Memakan bangkai bisa menjadi rukhsah jika tidak ada makanan selain itu dan dikhawatirkan akan mengancam nyawanya. Jika kebutuhan sudah terpenuhi, hukum memakan bangkai kembali ke keadaan semula, yakni haram.

Rukhsah di sini bukan diartikan meminta kepada Allah SWT agar tidak dibebankan sesuatu karena apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasulullah sudah menjadi ketentuan umum yang mesti dilaksanakan.

Ada beberapa penyebab diperbolehkannya rukhsah. Pertama, jika ada keterpaksaan (ad-darurat) atau kebutuhan (al-hajat). Misalnya, diperbolehkan seorang Mukmin mengucap kalimat “Saya kafir” karena dipaksa, namun di dalam hatinya tetap beriman. Boleh berbuka puasa saat Ramadhan karena sakit atau safar. Kedua, karena adanya uzur (halangan). Misalnya, musafir mengqasar shalatnya. Ketiga, untuk kepentingan dan memenuhi kebutuhan orang banyak.

Para ulama Hanbali membagi rukhsah menjadi dua bagian. Pertama, rukhsash yang mengandung istihsan. Artinya, seseorang bisa memilih, apakah memilih melaksanakan yang azimah atau rukhsah, tetapi sebenarnya mengambil rukhsah itu lebih baik. Misalnya, berbuka pada bulan Ramadhan bagi musafir lebih baik daripada berpuasa. Kedua, rukhsah yang menggugurkan hukum azimah. Sesuatu yang hukum awalnya haram bisa menjadi halal karena rukhsah. Misal, minum khamr karena tidak ada minuman lain dan membahayakan tubuhnya jika tidak diminum. Hukum asal khamr adalah haram, namun karena keterpaksaan bisa menjadi diperbolehkan.

Rukhsah juga melahirkan beberapa kaidah fikih yang dipakai hingga sekarang. Seperti, “yang darurat itu membolehkan yang dilarang”, “tidak ada (dalam agama) yang sudah dan menyusahkan”, “kesulitan membawa kepada kemudahan” dan “Islam bertujuan menghilangkan kesukaran dan kesulitan”.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement