REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, urusan politik dan agama dalam konteks pembangunan kehidupan berbangsa di Indonesia tidak dapat dipisahkan. "Jadi politik dan agama itu dalam konteks Indonesia memang tidak bisa dipisahkan," kata Haedar usai meresmikan Gedung Baru SMK Muhammadiyah 1 Imogiri Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Rabu (29/3).
Pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menanggapi pandangan Presiden RI Joko Widodo yang dalam pidatonya beberapa waktu lalu menyatakan perlunya pemisahan antara urusan politik dan agama di Tanah Air. Menurut Haedar, politik dan agama tidak bisa dipisahkan sejak lama, karena telah dituangkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni dengan adanya pernyataan "Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa".
Selain itu, lanjut Haedar pada sila pertama Pancasila yang tertulis dengan tegas Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian juga dengan pasal 29 UUD'45 yang membahas masalah keagamaan.
"Tingal bagaimana sekarang ke depannya itu, dalam dimensi struktural misalnya mana yang negara itu akan mengatur urusan agama dan dimensi mana yang tidak," katanya.
Haedar juga mengatakan, dalam konteks berpolitik juga perlu dilihat pada dimensi mana urusan agama perlu masuk dalam arena politik dan sebaliknya mana yang tidak. "Itu kan soal pembagian saja. Moralitas agama itu harus menjiwai seluruh kehidupan bangsa kita, karena tidak ada bangsa yang bebas dari kulturnya, kultur Indonesia itu sejak dulu kultur agama, religius apa pun agamanya," katanya.
Karena itu, Haedar menyarankan agar presiden bisa berdialog bersama tokoh agama dan tokoh bangsa untuk menemukan formulasi yang tepat dan memposisikan agama dalam kebangsaan, agar tidak menjadi kontroversi. "Kita juga ingin bahwa pandangan tentang posisi dan fungsi agama itu dilihat dengan cakrawala yang luas, tapi juga kekuatan-kekuaran agama perlu lebih moderat," katanya.
Baca Juga: Fadli Zon: Agama dan Politik di Indonesia tak Mungkin Dipisahkan.