REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra merespons imbauan presiden terkait pemisahan politik dan agama. Menurutnya masalah hubungan agama dan negara bukan persoalan sederhana. Ia pun menilai pernyataan Presiden Jokowi tak memiliki pijakan.
"Persoalan hubungan agama dan negara itu bukan persoalan sederhana yang bisa diungkapkan dalam satu dua kalimat seperti dalam pidato Presiden, karena hal itu dengan mudah dapat menimbulkan kesalah-pahaman," ujar Yusril dari Tokyo, Jepang, Rabu (29/3).
Dalam keterangannya Yusril memaparkan beberapa sejarah pemikiran politik tanah air dan keterkaiatan hubungan agama dan negara yang terkandung dalam debat-debat bersejarah. Menurut Yusril, debat hubungan agama dengan negara yang menjadi topik hangat dalam sidang BPUPKI ketika the founding fathers merumuskan falsafah bernegara, dan berujung dengan kompromi, baik melalui Piagam Jakarta 22 Juni maupun kompromi tanggal 18 Agustus 1945. Kompromi ini melahirkan kesepakatan Pancasila sebagai landasan falsafah bernegara yang merupakan salah satu contoh kuatnya keterkaitan hubungan agama dan negara.
Debat kembali terulang dalam sidang Konstituante yang berakhir dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang merupakan upaya mencari jalan tengah supaya dapat diterima oleh semua golongan. Dekrit Kembali ke UUD 45 akhirnya diterima secara aklamasi oleh DPR hasil Pemilu 1955, termasuk oleh Fraksi Partai Masyumi yang menerimanya sebagai "sebuah kenyataan" meski di Konstituante partai itu memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.
Menurut Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini, dengan diterimanya Pancasila sebagai landasan falsafah bernegara, maka Negara Indonesia adalah jalan tengah antara Negara Islam dan Negara Sekular. Yusril mengutip perkataan Prof Soepomo dalam sidang BPUPKI yakni "negara yang memisahkan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan." Negara berasaskan falsafah Pancasila, menurut Yusril adalah kompromi yang dapat menyatukan antara pendukung Islam dan pendukung Sekularisme.
"Jalan tengah yang bersifat kompromistis ini tidak perlu diutak-atik lagi dengan ajakan "pemisahan politik dengan agama" oleh Presiden Jokowi," jelas Yusril. Dia beranggapan, ajakan Presiden diungkapkan tanpa pemahaman mendalam tentang latar belakang historis dan implikasi politik yang berpotensi menimbulkan debat filosof tentang landasan negara Indonesia.