REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tradisi otodidak yang berkembang di tengah masyarakat Muslim pada akhirnya melahirkan banyak sosok intelektual berotak cerdas. Mereka bahkan mampu menorehkan pretasi besar melalui pemikiran dan karyanya. Salah satu ilmuwan cemerlang yang belajar otodidak adalah Ali ibn Syahak al-Bayhaqi. Ia seorang filsuf.
Kisah Ali ini termuat dalam karya penulis biografi bernama al-Bayhaqi. Menurut al-Bayhaqi, Ali telah buta sejak kecil dan merupakan penghafal Alquran. Keterbatasan fisiknya itu tak menghalanginya menguasai materi pokok dan cabang kajian sastra serta tata bahasa. Ia pun mendalami filsafat tanpa bimbingan seorang guru.
Saat seseorang membacakan buku tentang logika pada Ali, ia menghafal, mengulangi, dan menelaahnya hingga ia memahami benar materi tersebut. Hal yang sama ia lakukan dalam mempelajari bidang ilmu lainnya. Sosok lainnya adalah Abu al-Fath al-Mishri yang meninggal dunia pada 952 Masehi.
Al-Mishri beberapa kali harus kehilangan bukunya karena terbakar. Di sisi lain, ia gemar membeli buku, terutama yang belum ia pelajari di bawah bimbingan seorang guru. Ia kemudian mempelajarinya secara otodidak hingga memahami sepenuhnya isi dalam buku yang dibacanya. Demikian pula dengan ilmuwan bernama Abu al-Hasan al-Adami.
Berdasarkan sejumlah catatan biografis tentang cendekiawan cemerlang yang menguasai beragam disiplin ilmu, Ibnu Sina mengungkapkan bahwa ia mendapatkan sebagian besar ilmu pengetahuan yang mengantarkannya menjadi filsuf dan dokter ternama secara mandiri tanpa bimbingan guru.