Sabtu 01 Apr 2017 15:45 WIB

Masjid Raya Niono, Masjid Hijau Berteknologi Sederhana

Masjid Raya Niono, Mali.
Foto: slamicart.org
Masjid Raya Niono, Mali.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sang arsitek, Lassine Minta, menambahkan halaman pada areal masjid untuk mengakomodasi situasi ketika jamaah terlalu padat. Selain itu, untuk mangatasi hawa panas, beberapa kipas angin elektrik dipasang di beberapa bagian di masjid.

Namun, terkadang suasana menjadi sangat gerah pada waktu-waktu tertentu dan kipas angin tidak bisa meredakan kegerahan itu. Solusinya, Lassine Minta membuat ventilasi serta jendela-jendela besar.

Kini, masjid tersebut memiliki luas sekitar 726 meter persegi. Perluasan itu merupakan usaha selama 25 tahun, mulai dari 1948 sampai 1972. Rekonstruksi pada masjid itu meliputi bangunan utamanya dan menambahkan bangunan lain yang terpisah dengan bangunan utama.

Bangunan seluas 140 meter persegi itu difungsikan sebagai tempat shalat jamaah wanita. Kemudian, dibuat pula bangunan yang memungkinkan bagi pengelola masjid untuk tinggal, dan disediakan juga gudang untuk menaruh barang-barang keperluan perawatan masjid.

Corak material bangunan Masjid Raya Niono terbilang sangat khas dan mengikuti pola bangunan yang sudah ada di daerah tersebut. Biasanya, rumah-rumah atau bangunan di Desa Niono berbahan dasar lumpur tanah liat yang kemudian dibentuk menjadi batu bata.

Agar mengeras, batu bata tersebut tidak dibakar seperti kebanyakan dilakukan di Indonesia, akan tetapi hanya dijemur di panas matahari. Terkadang, untuk lebih memperkuat batu bata itu ditambahkan dedak pada proses pembuatannya. Lalu, untuk fondasi dan rangka bangunan biasa digunakan kayu. Terutama kayu dari pohon Palmyra.

Material-material modern seperti semen biasanya dipakai untuk fondasi dan tambahan untuk atap serta digunakan pula sebagai plester. Sementara besi dipakai untuk sambungan rangka ataupun frame pada jendela dan pintu. Namun, material modern itu sangat jarang digunakan.

Sebab, dari sisi ekonomi, penggunaan material modern jauh lebih mahal karena harus diimpor dari negara lain. Sehingga, material itu kurang diminati, tidak hanya dalam pembangunan rumah bagi masyarakat sekitar, tetapi juga ketika akan membangun masjid. Cara-cara tradisional dianggap lebih sederhana dan hemat biaya.

Salah satu kekurangan penggunaan batu bata yang hanya dijemur di panas matahari adalah perlunya perawatan dan perbaikan yang intensif setiap tahunnya. Tidak hanya pada permukaan luar yang diperhatikan, akan tetapi juga pada permukaan di bagian dalam masjid.

Namun, di balik kekurangannya itu, menggunakan batu bata itu justru bisa menguntungkan. Karena, batu bata yang rusak bisa dengan mudah didaur ulang untuk menjadi batu bata yang baru. Cara ini justru semakin banyak diterapkan di Mali.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement