REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyatakan perlu ada toleransi terhadap repatriasi aset tetap atau tak bergerak meski batas waktu amnesti pajak telah berakhir pada Jumat (31/3) kemarin.
Bhima menyarankan toleransi tersebut bisa dengan memperpanjang batas waktu repatriasi yaitu maksimal tiga bulan setelah amnesti pajak berakhir. Namun, perpanjangan batas waktu tersebut tetap harus diawasi. "Artinya harus tetap ada pengawasan dari Ditjen Pajak sesuai batas waktu yang disepakati," kata dia, Sabtu (1/4).
Sebagian besar aset wajib pajak di luar negeri yang direpatriasi, kata Bhima, memang tidak hanya berbentuk uang tunai. Namun, aset juga ada yang berupa properti, kendaraan, atau aset tak bergerak lainnya. Sebab, harta kekayaan berupa aset tak bergerak tersebut membutuhkan proses administrasi yang lama di negara asal hingga akhirnya bisa dikembalikan ke Indonesia.
"Kalau kesulitannya itu soal penjualan barang dan segala macamnya, kasih toleransi. Memang perlu waktu untuk melakukan repatriasi harta berbentuk aset tetap. Tapi kalau masih mangkir juga setelah tiga bulan, itu kewajiban Ditjen Pajak dengan memberikan denda atau sanksi," kata dia.
Menurut Bhima, repatriasi harta tersebut seharusnya bisa dikejar dalam waktu tiga bulan setelah amnesti pajak berakhir. Perpanjangan tiga bulan ini bukan berarti harus melakukan pendaftaran baru melainkan untuk melanjutkan proses repatriasi yang sudah dilakukan sebelumnya.
"Jadi bukan pendaftaran baru. Karena sesuai kesepakatan, repatriasi itu harus masuk semua ke Indonesia, tidak terkecuali. Ada toleransi tapi ketika batas ini dilanggar, tegas," tutur dia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui besaran repatriasi harta baru sebesar Rp 147 triliun. Jika diperinci lagi, baru ada Rp 121 triliun repatriasi harta yang benar-benar sudah dibawa masuk ke Indonesia. Masih ada Rp 24,7 triliun harta yang sebelumnya dijanjikan oleh wajib pajak untuk dibawa masuk ke Indonesia namun urung terealisasikan.
Sri menjelaskan, potensi repatriasi yang hilang sebesar Rp 24,7 triliun salah satunya karena harta yang akan direpatriasikan berupa harta nonlikuid, seperti aset yang masih berupa rumah, bangunan, Surat Berharga Negara (SBN), atau deposito. Semua aset ini butuh proses administrasi yang cukup rumit di negara asal.
Tak hanya itu, belum masuknya repatriasi harta juga bisa disebabkan karena harta repatriasi merupakan harta yang sebetulnya sudah masuk ke Indonesia antara 1 Januari 2016 hingga dimulainya amnesti pajak pada 1 Juli 2016. Harta yang masuk ke Indonesia selama periode tersebut, dianggap sebagai harta repatriasi meski sudah dibawa masuk ke dalam negeri. Ini membuat selisih catatan repatriasi harta amnesti pajak cukup besar yaitu Rp 24,7 triliun.
Baca juga: Repatriasi Gagal Capai Target, Komisi XI DPR: tak Perlu Mengemis