REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri fashion Muslim Indonesia dinilai berpotensi besar untuk berkembang di Indonesia dan menembus pasar global. Namun, masih banyak tantangan yang harus dihadapi.
Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Agus Muharram menjelaskan, tantangan tersebut berasal dari segi kontinuitas kuantitas maupun kualitas produk serta persaingan harga antarnegara produsen pakaian Muslim.
"Tantangan ini terutama harus dihadapi dengan kebijakan adanya jaminan ketersedian bahan baku, standardisasi, dan sertifikasi produk," katanya kepada Republika.co.id, Ahad (2/4).
Sebenarnya kebijakan tersebut telah dikeluarkan pemerintah melalui Kebijakan Impor untuk Tujuan Ekspor (KITE), Hak Kekayaan Intelektual (HKI) gratis untuk hak merek dan hak cipta, serta standardisasi. Namun, biaya distribusi atau biaya transportasi juga sangat mempengaruhi daya saing harga. "Kalau desain atau model, kita tidak kalah. Banyak ragam dan corak yang bisa disesuaikan dengan selera pasar," ujarnya.
Namun, hal itu saja tidaklah cukup untuk penetrasi fashion Muslim Indonesia ke tingkat global. Menurut dia, perlu ada promosi yang harus dilakukan secara kerja sama oleh semua pihak baik pemerintah maupun swasta. Bahkan promosi perlu dilakukan secara besar-besaran.
Contohnya dengan menggaungkan jargon untuk menarik minat konsumen. "Jargonnya bukan lagi Aku Cinta Busana Muslim Indonesia, tapi Mari Beli BUMI (Busana Muslim Indonesia)," kata dia. Sementara untuk pameran fashion Muslim yang akan diadakan dapat diberi judul Indonesia Muslim Fashion (IMF).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor fashion pada 2015 mencapai 12,1 miliar dolar AS. Kontribusi industri fesyen terhadap PDB nasional sendiri mencapai 1,21 persen. Sebagai sektor padat karya, industri fesyen mampu menyerap dua juta tenaga kerja atau 14,7 persen dari total tenaga kerja di sektor industri.
Sedangkan berdasarkan data Organisasi Konferensi Islam (OKI), ekspor fashion Muslim Indonesia saat ini berada di peringkat ketiga dengan nilai 7,18 miliar dolar AS, setelah Bangladesh (22 miliar dolar AS) dan Turki (14 miliar dolar AS).