Oleh: Lukman Hakiem*
Kemerdekaan telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. "Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya," demikian antara lain bunyi teks Proklamasi Kemerdekaan yang ditandatangani oleh Sukarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Namun, dalam kenyataannya, pemindahan kekuasaan "secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya" memerlukan bukan saja tempo yang cukup lama, juga pemikiran, keringat, dan darah yang cukup banyak.
Belanda, pada mulanya tidak peduli dengan Proklamasi Kemerdekaan itu. Belanda menganggap Proklamasi itu cuma perbuatan segelintir 'ekstremis-radikal' yang mau memisahkan diri dari negeri Hindia-Belanda sebagai bagian tidak terpisahkan dari Kerajaan Belanda.
Di hari-hari awal setelah Proklamasi itu, Belanda sungguh melecehkan eksistensi Presiden Republik Indonesia. Pada suatu saat, pemimpin Belanda mengatakan: "Praten met Sukarno is even onwaardig als onvruchtbaar --Bicara dengan Sukarno tidak terhormat dan sia-sia."
"Para pemimpin dan pejuang Republik yang rata-rata berusia di bawah 50 tahun, tidak menggubris penghinaan Belanda kepada Bung Karno, hingga datang saatnya Belanda terpaksa merendahkan diri untuk berbicara dan berunding dengan orang-orang 'suruhan' Presiden Sukarno.
Dan, Belanda menganggap sia-sia dan tidak terhormat bicara dengan Sukarno, tapi pada akhir 1946 Belanda mau berunding dengan orang-orang yang diberi kuasa oleh Presiden Sukarno di Linggarjati.
Para pemimpin Republik dengan cerdik memainkan politik perunding, meskipun mendapat oposisi keras di dalam negeri. Mereka paham, dengan membawa masalah ke meja perundingan, artinya masalah Indonesia telah menjadi masalah internasional.
Baik pihak Belanda maupun Indonesia, sama-sama tidak puas dengan hasil perundingan Linggarjati. Tetapi, itulah hasil maksimal yang bisa dicapai pada saat itu.
Melalui Perundingan Linggarjati, Belanda berharap Indonesia tetap menjadi bagian dari Kerajaan Belanda. Nyatanya, dengan Linggarjati, Belanda terpaksa mengakui kekuasaan RI secara de facto di Sumatra, Jawa, dan Madura.
Belanda juga setuju dan akan bekerja sama dalam pembentukan negara federal bernama Republik Indonesia Serikat (RIS) yang akan terdiri dari Republik Indonesia yang dengan ibu kota di Yogyakarta, Negara Kalimantan, dan Negara Indonesia Timur, tanpa mengurangi hak daerah lain untuk membentuk negara bagian tersendiri.
Itulah untuk pertama kalinya, Belanda mengakui kekuasaan Indonesia meskipun secara de facto. Dan itulah untuk pertama kalinya RIS muncul dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Seperti dicatat pejuang-perunding Mr Mohamad Roem, Perjanjian Linggarjati hanya menyebut tiga negara bagian, tapi pada saat pengakuan kedaulatan RI, 27 Desember 1949, jumlah negara bagian itu --termasuk Negara Bagian RI di Yogyakarta-- telah berkembang menjadi 16.
Jumlah negara bagian akan terus bertambah andai Pernyataan Roem-Roijen tidak menyetopnya. Ketika Roem-Roijen ditandatangani, Jambi dan Tapanuli Selatan sedang menunggu untuk disahkan menjadi negara bagian.