REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Gubernur Jawa Timur, Soekarwo menegaskan, penanganan bencana tanah longsor yang melanda Desa Banaran Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, menjadi tanggung jawab Pemprov Jatim dan Pemkab Ponorogo. Pemerintah pusat hanya mendampingi dan memfasilitasi.
Pakde Karwo, sapaan akrabnya, menyatakan telah menyampaikan kepada pemerintah pusat mengenai penanganan bencana tanah longsor di Ponorogo yang menjadi tanggung jawab daerah. “Terkait bantuan jaminan hidup bagi pengungsi, ini masih bisa kami tangani. Saya sudah minta bupati untuk menghitung berapa biaya yang dibutuhkan pengungsi per orang, per harinya dan berapa lama mereka kita tanggung. Semua bantuan diurusi BPBD,” kata Pakde Karwo saat konferensi pers di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Senin (3/4).
Dana bantuan dari provinsi diambil dari dana cadangan yang nilainya sebesar Rp 100 miliar per tahun. Dana cadangan ini memang digunakan untuk menangani bencana alam. Nantinya, Pemprov akan memberikan bantuan kepada korban meninggal senilai Rp 10 juta per orang. Namun, Pakde Karwo belum bisa menyebutkan total nilai bantuan yang akan diberikan Pemprov kepada korban tanah longsor tersebut.
Karena itu, tawaran bantuan dari Menteri Sosial dinilai belum diperlukan. “Jadi bantuan dari pusat itu terkait jaminan hidup, sementara kita saja dulu. Nanti Bu Sukesi (Kepala Dinas Sosial Jatim) bisa mengadu ke Bu Mensos. Kami berterima kasih,” kata alumnus Universitas Airlangga (Unair) tersebut.
Pakde Karwo menambahkan, saat ini penanganan bencana tanah longsor difokuskan pada empat hal. Yakni, evakuasi korban, antisipasi jika terjadi banjir akan berdampak di daerah bawah, pembangunan tempat sementara bagi para pengungsi, serta bantuan kebutuhan hidup sehari-hari.
Saat ini, proses evakuasi terus dilakukan. Ada enam alat berat ekskavator yang digunakan, dari total sepuluh yang dibutuhkan. Proses evakuasi dinilai sangat tergantung cuaca. Sehingga bila hujan deras, proses evakuasi hanya bisa berlangsung efektif enam jam.
Terkait batas waktu pencarian korban, Pakde Karwo menjamin proses pencarian akan dilakukan sampai korban ditemukan. “Berdasarkan pertimbangan tokoh adat, proses akan terus dilakukan sampai semua korban ditemukan,” ungkapnya.
Permasalahan lainnya, jika hujan deras dan banjir besar, tanah di bawahnya juga berbahaya. Sehingga warga yang tinggal di daerah bawah dinilai perlu mendapat perhatian. Menurutnya, Pemprov masih mendiskusikan dengan Bupati Ponorogo dan BPBD Ponorogo terkait skenario jika terjadi hujan deras lagi.
Sementara, terkait bantuan untuk hidup sehari-hari, masih dihitung oleh Pemkab Ponorogo. Berdasarkan ketentuan nasional, bantuan hidup diberikan senilai Rp 900 ribu per KK per bulan. “Pemkab juga akan mencarikan pekerjaan sementara untuk para pengungsi di lahan pertanian. Upahnya Rp 25 ribu per hari, kalau harga beras Rp 8.000 per liter kan bisa mencukupi,” ujar Pakde Karwo.
Di sisi lain, peringatan dini adanya bencana (early warning) dinilai sudah berjalan baik. Kepala dusun setempat juga menjadi kader bencana terlatih. Sepekan sebelum bencana, warga sudah diungsikan. Namun, pada Sabtu (1/4), ada beberapa warga yang naik ke atas karena ingin memanen jahe.
Penyebab bencana tanah longsor tersebut diperkirakan karena tanaman yang ditanam tidak memiliki akar tunjang. Sehingga ketika hujan deras, tanah di atas tidak kuat menahan air, kemudian menyebabkan longsor. “Karena itu, kami akan minta bantuan Perhutani, apa tanaman yang kira-kira sebanding dengan jahe keuntungannya tapi punya akar yang kuat. Misal ditanami sengon, di bawahnya baru ditanami jahe,” kata Pakde Karwo.
Dari hasil kunjungan Pakde Karwo ke lokasi bencana pada Ahad (2/4), sore, jumlah pengungsi yang berada di rumah kepala desa saat ini ada 30 Kepala Keluarga (KK). Proses pendampingan pengungsi akan terus dilakukan Pemprov Jatim. Di antaranya dengan melatih dokter-dokter puskesmas yang didampingi tim dari RS dr Soetomo dan RS Soedono Madiun, terutama yang terkait pemulihan psikologis pascabencana.