REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengacara tertuduh kasus Makar, Ahmad Michdan menegaskan ada terminologi makar yang dipaksakan oleh pihak kepolisian dalam kasus penahanan Sekjen Forum Ummat Islam Muhammad Al Khaththath dan empat mahasiswa sehari sebelum Aksi 313, Kamis (30/3) lalu. Ia mengungkapkan secara terminologi makar itu meniadakan konstitusi negara, UUD 45. Kedua meniadakan institusinya, lembaga kepresidenan Kabinet dan para menteri, DPR termasuk TNI dan Polri.
Tapi apa yang ingin dilakukan di Aksi 313 bukanlah seperti itu. Ada pihak yang berargumen Ahok gubernur DKI yang sah menurut konstitusi, terus ada pihak yang mau menurunkannya seolah dituduh makar. Ia menegaskan apa yang disampaikan kliennya dalam Aksi 313 adalah aspirasi umat kepada presiden.
Artinya umat Islam masih mengakui Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin negara. "Karena tidak mungkin kalau niatnya makar, tetapi ingin menyampaikan aspirasi kepada yang ingin digulingkan," ungkapnya kepada wartawan, Senin (3/4).
Ia meminta polisi melihat kronologi dan terminologi Aksi 313 secara utuh. "Kalau makar logika hukumnya dimana," terangnya. Dan kalau masih mengakui presidennya, menurut Michdan, itu artinya masih mengakui pemerintahan dan undang-undangnya.
Ia sepakat kalau niatnya meniadakan konstitusi dan pemerintahan yang sah itu baru bisa dikenakan pasal makar. Siapa yang mufakat itu di KUHP Pasal 110 kalau pasal 107 ancamannya 15 tahun hingga 20 tahun.
Tapi Michdan menanyakan ke aparat apakah Aksi 313 mau mengganti semua itu, padahal sebenarnya hanya menyampaikan aspirasi semata. Karena menurutnya tidak mudah mengganti pemerintahan atau konstitusi seperti yang dituduhkan polisi.
Dan dalam sejarahnya, menurutnya, salah satu yang pernah terjadi adalah saat 1998 saat Sidang Istimewa. Tapi itu selama diminta oleh sebagian besar rakyat Indonesia masih dibolehkan.
Karena itu Michdan menilai terminologi makar dengan kasus kliennya itu tidak sesuai. Dan pasal yang disangkakan oleh polisi kepada kliennya itu juga sangat dipaksakan.