REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam adalah agama resmi Tunisia. Sekitar 99 persen dari populasi penduduk negara republik di Afrika Utara tersebut beragama Islam. Konstitusi menyatakan, negara merupakan negara Islam, pemerintah adalah wali agama, dan presiden harus seorang Muslim.
Konstitusi negara yang berbatasan dengan Laut Tengah (utara dan timur laut), Libya (timur dan tenggara), dan Aljazair (barat daya dan barat) ini menjamin kebebasan berkeyakinan berdasarkan hati nurani dan menjamin pelaksanaan praktik keagamaan.
Namun, konstitusi juga mengakui bahwa akan ada pembatasan kebebasan beragama. Hal ini untuk melindungi hak-hak pihak ketiga, pertahanan nasional, keamanan publik, moralitas, dan kesehatan.
Umumnya, interpretasi berdasarkan hukum perdata Syariah hanya diterapkan dalam beberapa kasus keluarga. Beberapa keluarga menghindari efek syariat pada warisan dengan mengeksekusi kontrak penjualan antara orang tua dan anak-anak untuk memastikan bahwa putra dan putri menerima hak yang sama terhadap properti.
Namun, gejolak reformasi yang melanda Tunisia memunculkan beragam gagasan yang progresif di negara ini di bidang perdata.
Sebuah aliansi hak asasi manusia Tunisia meminta pemerintah membatalkan peraturan yang melarang perempuan Muslim menikah dengan pria non-Muslim.
Aliansi yang terdiri atas 60 kelompok ini menandatangani pernyataan yang menyerukan agar peraturan tersebut dicabut. Menurut mereka, pelarangan nikah beda agama hanya akan merusak hak asasi manusia dalam hal memilih pasangan.
Dilansir dari news24.com, Senin (27/3), Presiden asosiasi Beity, Sana Ben Achour mengatakan, asosiasi tidak dapat menerima keputusan yang tidak memiliki nilai keadilan bagi banyak orang.
Surat Keputusan yang dikeluarkan pada 1973 oleh Kementerian Kehakiman menyatakan bahwa seorang pria non-Muslim yang ingin menikahi seorang wanita Tunisia harus masuk Islam dan menyerahkan sertifikat sebagai bukti telah menjadi Muslim.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Keadilan untuk Kebebasan Indivdu, Wahid Ferchichi menerangkan aturan pelarangan tersebut melanggar konstitusi Tunisia yang mempromosikan kesetaraan antara semua warga negara tanpa memandang jenis kelamin.
Koalisi mengatakan, akan melakukan kampanye untuk memobilisasi opini publik dan mencari pertemuan dengan para menteri keadilan dan kepala pemerintahan. Mereka berharap, keputusan akan dihapus pada November mendatang.
Tunisia dipandang sebagai negara yang menjamin hak-hak perempuan. Konstitusi baru pada 2014 menyebutkan negara menjamin kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Pasal 21 dari konstitusi menyatakan semua warga negara, laki-laki dan perempuan, memiliki hak dan kewajiban yang sama, dan sama di depan hukum tanpa diskriminasi. Tapi, diskriminasi terhadap perempuan masih kerap terjadi di Tunisia, terutama dalam hal warisan dan kehidupan keluarga.