REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masa operasi Tinombala kembali diperpanjang mulai Senin (3/4) hingga tiga bulan ke depan. Hanya saja, perpanjangan masa kerja Densus 88 Polri bersama TNI ini dinilai tidak dibarengi dengan kajian dan evaluasi.
Pengamat Terorisme Harits Abu Ulya mengatakan sebelum memutuskan untuk kembali memperpanjang masa tugas pasukan harusnya dilakukan kajian terlebih dahulu. Ini sejak tertangkapnya pimpinan kelompok terduga teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Santoso yang tewas dalam baku tembak disusul dengan penangkapan Basri dan istrinya, hingga saat ini belum ada lagi penangkapan.
"Operasi Tinombala di Poso diperpanjang atau tidak, harusnya melalui kajian dan evaluasi komprehensif terlebih dahulu," jelas Harits kepada Republika.co.id di Jakarta, Selasa (4/4).
Maksudnya jelas Harits, dengan dilakukan evaluasi atas implementasi operasi sebelumnya khususnya terhadap dampak-dampak sosial, ekonomi serta kemananan bagi masyarakat Poso. Masukan itu kata dia, bisa datang dari masyarakat setempat, anggota DPRD Poso, DPRD Provinsi, dan DPR RI. Mereka dapat duduk bersama untuk saling memberikan masukan dan kontrol.
"Masukan dan kontrol dari representasi masyarakat Poso baik yang formal maupun nonformal perlu di dengar," kata Harits.
Operasi Poso, lanjutnya sudah berlangsung sejak operasi pertama kali yang dinamakan Camar Maleo pada 2015 silam. Kemudian operasi tersebut dilanjutkan pada Januari 2016 dengan berganti nama menjadi operasi Tinombala. Lamanya masa operasi ini dalam sudut pandangnya dapat memunculkan dampak-dampak negatif baik bagi negara maupun bagi masyarakat Poso.
"Karena operasi di Poso tergolong cukup lama, dan biaya yang dikeluarkan juga cukup besar. Di sisi lain operasi juga memberikan dampak terhadap masyarakat Poso terutama aspek psikologi," paparnya.
Belum lagi, sambungnya, sampai hari ini masih tersisa sedikitnya sembilan orang kelompok Santoso yang bersembunyi di pegunungan tersebut. Kendatipun disebut-sebut kelompok MIT yang saat ini dipimpin oleh Ali Kalora itu melemah, namun buktinya sejak penangkapan pada pertengahan 2016 lalu belum ada penangkapan-penangkapan selanjutnya.
"Bagaimanapun juga masyarakat Poso butuh ketenangan lahir batin, bisa jalani normal kehidupan sosial ekonomi mereka. Poso sudah cukup lelah dengan konflik, dan tidak nyaman juga kalau ada opini Poso sebagai sarang terorisme," kata dia.