REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai penerapan hukuman maksimal bagi predator anak belum optimal. Menurutnya, aturan sudah ada tapi belum tahu bisa dilaksanakan.
"Atau tidak dijalankan karena masih pro kontra," kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai melalui keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (5/4).
Semendawai menyampaikan hal itu saat menggelar seminar bertajuk "Bahu-membahu dalam Pemenuhan Hak Korban Kekerasan Seksual" di Jambi, Selasa (4/4). Semendawai menuturkan pro dan kontra terkait hukuman maksimal bagi predator kekerasan terhadap anak muncul dari kalangan dokter yang diutus untuk mengkebiri pelaku maupun penolakan dari aktivis hak asasi manusia.
Semendawai mengungkapkan pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Menurut Semendawai undang-undang itu untuk menambah efek jera bagi pelaku kejahatan seksual anak mulai dari pemberatan sanksi pidana, pengumuman identitas pelaku, ancaman hukum tambahan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik untuk pelaku dewasa.
Wakil Ketua LPSK Lies Sulistiani menyoroti jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan kepada pihak kepolisian mengalami peningkatan. Sebelumnya, laporan kepada kepolisian didominasi kasus pencurian dengan pemberatan dan pencurian dengan kekerasan atau perampokan.
"Belakangan kasus kekerasan seksual anak mulai mencuat," ujar Lies.