Rabu 05 Apr 2017 16:18 WIB

OJK Terbitkan Tiga Aturan Soal Penanganan Krisis Keuangan

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Nur Aini
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis tiga Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) sebagai tindak lanjut dari Undang -undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan (UU PPKSK). Ketiga aturan ini  memberikan penjelasan dan penegasan dalam penerapan kebijakan penanganan krisis di sektor keuangan.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad menjelaskan, UU PPKSK memberikan mandat landasan hukum bagi OJK dan lembaga atau otoritas lain untuk menangani stabilitas sistem keuangan serta melakukan tindakan dalam upaya mengatasi permasalahan stabilitas sistem keuangan berdasarkan tugas dan kewenangannya. Aturan ini berlaku sejak ditetapkan pada tanggal 4 April 2017.

"Tiga POJK ini mandat UU yang harus dilakukan oleh OJK. Satu tahun atau paling lambat 14 April setelah UU berlaku semua aturan pelaksanaan harus selesai. Aturan ini yang kita keluarkan sebagai follow up dari UU PPKSK," ujar Muliaman dalam konferensi pers di Gedung Soemitro OJK, Jakarta, Rabu (5/4).

Adapun tiga POJK yang dikeluarkan, pertama POJK tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum yang memuat aturan mengenai penanganan permasalahan bank, baik penanganan terhadap bank sistemik maupun penanganan terhadap bank selain bank sistemik. Dalam ketentuan ini diatur bahwa status pengawasan bank terdiri dari tiga tahap, yaitu pengawasan normal, pengawasan intensif, dan pengawasan khusus. Kaitannya dengan UU PPKSK, penanganan permasalahan solvabilitas bagi bank sistemik menjadi fokus penyempurnaan ketentuan ini, yaitu mengenai aktivasi implementasi rencana aksi (recovery plan), persiapan penanganan (early entry) permasalahan solvabilitas bank oleh LPS, dan mekanisme penyerahan bank yang tidak dapat disehatkan kepada LPS.

Kedua, POJK tentang bank perantara yang memuat aturan mengenai prosedur pendirian bank perantara, mulai dari proses pendirian, operasional dan pengakhiran bank perantara. "Bank perantara hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh LPS," kata Muliaman.

Muliaman menuturkan, keberadaan bank perantara membuka opsi penanganan permasalahan solvabilitas bank tidak hanya dilakukan dengan cara pengalihan sebagian atau seluruh aset dan atau kewajiban bank bermasalah kepada bank penerima, penyertaan modal sementara atau pencabutan izin usaha bank. Namun, juga dapat dilakukan dengan pendirian bank perantara yang digunakan sebagai sarana resolusi untuk menerima aset dan atau kewajiban yang mempunyai kualitas baik dari bank bermasalah.

Ketiga, POJK tentang Rencana Aksi (Recovery Plan) bagi sistemik memuat aturan mengenai kewajiban bank sistemik untuk mempersiapkan rencana dalam rangka mencegah dan mengatasi permasalahan keuangan yang mungkin terjadi di bank sistemik dengan cara menyusun suatu rencana aksi. "Dengan adanya rencana aksi, maka upaya-upaya penyelesaian permasalahan keuangan bank sudah dimulai sejak saat bank dalam kondisi normal namun terdapat masalah signifikan," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon.

Salah satu hal penting yang perlu dicatat dari ketentuan ini adalah aturan agar dalam rencana aksi memuat kewajiban pemegang saham pengendali dan atau pihak lain untuk menambah modal bank dan mengubah jenis utang tertentu menjadi modal bank. Dengan adanya aturan ini, maka bank sistemik akan berusaha menyelesaikan permasalahan keuangan dengan saya upayanya sendiri (bail in) sesuai dengan rencana aksi yang telah mereka susun.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement